Hutan Lapar

CERPEN LISWINDIO APENDICAESAR

“Tidak, Tuan. Aku mohon. Percayalah padaku.”

Ular sesungguhnya selalu memegang kata-katanya, memenuhi janjinya.

“Kami bukanlah hewan yang culas seperti yang dituduhkan. Lagi pula, bukankah kau tidak punya pilihan lain? Maksudku, kau butuh makan secepatnya atau kau akan mati, kan? Ukuran tidaklah jadi soal. Kau bisa mencabik orang tuaku jadi kecil-kecil sebelum menelan mereka.“

Si burung hantu terdiam mendengar perkataan si ular kecil. Dia memang kecil, tapi lidahnya sungguh sangat ular. Si burung hantu menyadari ini satu-satunya pilihan yang dia miliki jika dia ingin tetap hidup. Dia sudah tidak mungkin lagi terbang ke sana ke mari untuk mencari mangsa. Tubuhnya sudah kepalang lemas.

“Baiklah. Kau benar. Dan aku termakan oleh bujukan berbisamu. Pilihanku untuk terus hidup saat ini hanyalah memercayaimu. Aku harap kau tidak akan ingkar dan alih-alih menjebakku, wahai ular kecil.”

“Aku akan penuhi janjiku, Tuan. Kau bisa memakan orang tuaku. Lagi pula, kalau kau memakanku, tetap tidak akan cukup untuk mengenyangkan perutmu dan mengembalikan tenagamu. Lihatlah tubuhku yang kecil ini. Bisa-bisa kau justru mati kehabisan tenaga untuk mencernaku.“

“Kau benar,“ si burung hantu tampak putus asa dengan keadaannya.

Si burung hantu tidak tahu bagaimana mungkin nanti orang tua si ular kecil ini akan membiarkan begitu saja untuk dimakan, tapi dia tidak mau terlalu banyak berpikir.

Tidak ada tenaga tersisa untuk hal itu. Dia segera mengeluarkan si ular kecil dengan kakinya, dan si ular melilit kaki si burung hantu agar tidak terjatuh kembali ke lubang. Setelah keluar, si ular kecil menunjukkan jalan pulang ke sarangnya. Si burung hantu berjalan dengan ular kecil yang melata di tubuhnya.

Lihat juga...