Pedagang: Kenaikan Harga Kedelai Impor Belum Terlalu Berdampak
Editor: Koko Triarko
Lestari, pedagang kuliner di pasar Gudang Lelang, menyebut tetap membuat tempe kemul, susu kedelai, dan lauk orak arik tempe. Berbagai kuliner berbahan kacang kedelai itu tetap dibuat, meski tanpa menaikkan harga jual. Ia memilih tidak menaikkan harga kuliner tradisional, karena konsumen sebagian besar berasal dari kalangan elonomi menengah ke bawah.
“Kami jual tempe goreng, orak-arik tempe hingga susu kedelai dengan harga tetap, yang penting jualan lancar,” bebernya.
Selain di wilayah Bandar Lampung, kenaikan harga kedelai dirasakan pedagang kuliner di Lampung Selatan.
Rahmat, pedagang makanan dengan konsep serba sepuluh ribu (Serbu) di Bakauheni, Lampung Selatan, mengaku membutuhkan sekitar 50 bungkus tempe per hari. Tempe berbahan kedelai digunakan untuk sayur tumis kacang, orak arik atau kering tempe dan tempe goreng.
“Konsumen tetap mengandalkan kuliner tempe sebagai lauk dengan varian olahan berbeda untuk teman makan nasi,”cetusnya.
Sementara itu, perajin tempe di Sidoluhur, Agus Rusmanto, mengurangi jumlah bungkus tempe yang dijual. Normalnya sebanyak 7 bungkus tempe dijual seharga Rp5.000, namun sejak harga kedelai naik ia menjualnya dengan harga sama, namun sebanyak 6 bungkus.
Saat harga kedelai normal, penjualan akan dilakukan seperti semula. Penggunaan kedelai impor untuk pembuatan tempe, menurutnya belum terganti dengan kedelai lokal.
Ia juga memilih menyediakan stok 10 kuintal untuk pembuatan selama sepekan. Namun sejak kedelai naik, ia hanya diberi jatah 6 kuintal per pekan.