Perahu Danau Perahu
CERPEN YUDHI HERWIBOWO
SEPANJANG hari selalu terasa pagi di Danau Perahu. Walau matahari sudah di atas kepala, kesejukan di sekeliling danau seperti tak pernah benar-benar lenyap.
Sinar matahari seperti tak mampu menembus cemara-cemara hutan yang tinggi dan mengitari danau bagai pagar, membuat kabut di sekeliling danau seperti enggan beranjak pergi.
Aku selalu di sana, menikmati semuanya. Kadang aku duduk di salah satu dahan pohon dan memperhatikan cericit anak burung yang baru keluar dari telurnya.
Kadang aku berjalan-jalan di sekeliling danau, sambil memperhatikan orang-orang desa yang sibuk mencari sesuatu di hutan. Atau kadang –yang paling sering– aku hanya berdiri di dermaga kayu dan membuang pandanganku ke ujung danau yang terjauh, namun selalu hanya kabut dan kabut yang terlihat olehku.
Dermaga ini, walau nampak dibuat seadanya, selalu menjadi tempat paling kerap didatangi. Ya, di titik inilah orang-orang selalu menunggu perahu. Perahu itu bisa saja muncul tak terduga dari balik kabut. Perahu kayu tanpa penumpang yang selalu bergerak halus di antara air danau yang tenang, yang biasanya selalu diiringi dengan rinai, gerimis, atau bahkan hujan.
Perahu itu akan segera membawa siapa pun ke tengah danau. Mungkin ke ujung danau, tempat yang juga belum pernah kudatangi. Tapi aku sendiri tak yakin. Satu pikiranku menebak, ia sebenarnya hanya mengantar ke kabut paling tebal yang ada di danau.
Ya, ini nampak menakutkan. Apalagi aku selalu bertanya-tanya, apakah kabut di tengah danau ini memang kabut yang sebenarnya? Kenapa aku merasa ia seperti tak pernah lenyap? Sedang di tempat lain yang lebih dingin sekali pun, kabut akan segera terusir saat matahari datang.