Fakir dan Sabar

OLEH HASANUDDIN

Tauhid adalah pancaran dari nur ilahi yang maha hidup. Sehingga matinya tauhid dalam diri seseorang, tiada lain adalah matinya agama pada diri seseorang. Nabi Ibrahim as, dilahirkan dari kedua orangtuanya yang mengikuti ajaran Raja Namrud menyembah berhala. Atas hal ini Allah swt mengatakan telah mengeluarkan “yang hidup”, dari “yang mati”. Kedua orangtua Ibrahim dikatakan “mati” karena kemusyrikannya, sementara Ibrahim as dikatakan “hidup” karena keimanan dan ketauhidannya. Jadi jelaslah bahwa yang dimaksud “hidup”, dalam pandangan Allah swt, adalah hidupnya tauhid dalam diri seorang hamba.

Jika tauhid ini telah Allah tumbuhkan dalam diri, maka tauhid ini harus terus dirawat, seperti bayi yang memerlukan pengasuhan dan pembinaan agar tumbuh sehat dan tidak mengalami kematian. Dzikir laa ilaha illa Allah ditekankan agar senantiasa dilafadzkan dalam rangka memelihara dan mengasuh tauhid ini.

Selanjutnya iman bukan hanya diucapkan, namun harus diwujudkan dalam bentuk perilaku keseharian. Sehingga kalimat tayyibah ini mesti diimplementasikan dalam sikap perilaku. Dan untuk hal itu, Allah mengutus Nabi Muhammad saw, agar menjadi suri tauladan yang baik. Sehingga mengikuti sunnah Nabi saw menjadi keutamaan bagi setiap kaum muslimin. Sikap fakir dan sabar, harus dimaknai dalam konteks ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana firman-Nya:

آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ

Lihat juga...