Pangon
CERPEN YUDITEHA
Tanah itu tampak gersang, terlihat retak-retak, seperti keadaan tanah yang telah lama dilanda kekeringan. Padahal pada saat itu belum masanya benar-benar memasuki musim kemarau.
Keanehan lain, di seberang tanah kering itu sudah ada lagi sebuah hutan yang sangat lebat. Keheranan lelaki itu semakin besar ketika dia mendapati sebuah gubuk yang terletak tidak jauh dari tempat dia berdiri.
Lelaki itu mendekatinya, dan begitu sampai di depan gubuk, dia mencoba mengucap salam. Pikirnya, siapa tahu gubuk itu memang berpenghuni.
Salam lelaki itu terjawab, yang tak lama kemudian, dari dalam gubuk muncul seorang perempuan setengah baya. Dipersilakannya lelaki itu masuk.
Keberadaan gubuk itu saja sudah membuat lelaki itu keheranan, terlebih ketika dia mendapati gubuk itu benar-benar berpenghuni.
Banyak pertanyaan yang berkecamuk dalam benaknya. Satu per satu apa yang menjadi keheranan lelaki itu ditanyakan kepada perempuan itu, dari perihal siapa sesungguhnya perempuan itu dan bagaimana perempuan itu bisa bertahan hidup di tempat yang tanahnya sangat kering. Satu per satu perempuan itu menjawab pertanyaannya dengan lancar.
Perempuan itu menjelaskan, dulu tempat itu sebuah desa kecil yang tenteram, sampai waktunya datang seorang lelaki kaya yang akhirnya menjadi pimpinan desa.
Namun karena perilaku pimpinan itu sewenang-wenang, tempat itu dikutuk menjadi tempat yang gersang. Tak satu pun tumbuhan dan hewan bisa hidup di tanah itu.
Lama-kelamaan, desa itu dilanda kekeringan. Air yang semula berlimpah semakin hari semakin menghilang, tumbuhan yang semula ada, sedikit demi sedikit meranggas.
Pasti karena pemikiran daripada mati kelaparan, akhirnya hampir seluruh warga meninggalkan desa itu. Sebagian kecil yang tetap tinggal, termasuk perempuan itu, satu demi satu akhirnya mati karena tua, hanya perempuan itu yang masih bertahan.