Usaha Mencintai Hidup dan Mati Belakangan
CERPEN ARAFAT NUR
INI bukanlah kota yang menyenangkan. Tak ada yang bisa kuharapkan dan tak ada yang bisa kugantungkan pada siapa pun.
Anehnya, aku masih bisa tetap bertahan sampai sekarang, tanpa bisa menjauh sejengkal pun dari kota celaka ini.
Hanya satu hal yang kupegang teguh, di tengah dunia dengan orang-orangnya yang beragam macam, aku berusaha untuk bisa hidup bahagia, setidaknya aku bisa membahagiakan diriku sendiri. Aku berusaha mencintai hidup ini apa adanya dan aku lebih suka mati belakangan.
Berbahagialah selalu karena itu adalah salah satu cara menjadi bijaksana, kata Sidonie Gabrielle, seorang sastrawan Prancis yang hidup antara tahun 1873-1954.
Kata-kata itulah yang mendorong semangatku untuk bisa membahagiakan diri, dan kalau bisa juga membahagiakan orang lain. Namun, sampai saat ini aku masih kabur dalam memahami kebahagiaan itu secara nyata.
Lima tahun lalu aku berusaha menarik sebuah kesimpulan mengenai pengertian kebahagiaan secara sederhana. Bukan dengan cara menjabarkannya, tetapi aku berusaha untuk langsung memulainya.
Mungkin sebuah kebetulan aku mengenal Salma, gadis seorang saudagar kaya yang mengungkapkan bahwa dia tidak setuju dengan rencana ayahnya untuk mengawinkan dia dengan seorang polisi. Lantas kutanyakan alasannya.
“Sekalipun baru sebulan aku mengenalmu, aku lebih yakin menjalani hidup bersamamu,” jawabnya.
Aku yang waktu itu masih terlalu naif, begitu saja percaya dan terlena. Lelaki mana pun hatinya akan langsung berbunga bila ada seorang gadis yang disenanginya mengatakan demikian.
Tidak ubahnya seperti tanaman yang muncul dalam khayalan yang langsung berbunga, sebab dalam kenyataannya tak ada yang seperti itu, selain pohon bunga tiruan.