Usaha Mencintai Hidup dan Mati Belakangan
CERPEN ARAFAT NUR
Untuk beberapa lama dia tak bergeming menatapku, tetapi aku tidak begitu peduli. Angin sepoi menerpa wajah kami.
“Bolehkah aku tahu lebih jauh lagi tentangmu?” tanya dia.
“Tidak ada yang perlu kamu ketahui sejauh yang telah kukatakan sebelumnya. Ibuku tinggal di Kampung Tanjung, hidup dalam kemiskinan setelah ayahku bangkrut dan meninggal terserang penyakit jantung. Dua saudara perempuanku sudah kawin dan tidak terlalu dekat dengan Ibu. Aku pun begitu, tidak pernah bisa dekat dengan Ibu walaupun dia menjual sisa kebun untuk menyogok kelulusanku menjadi pegawai rendahan di pemerintahan. Jadi, aku bukanlah orang terpandang, dan tidak seorang pun yang akan memandang kami. Tapi, tidak ada masalahnya bagiku.”
“Hmm,” dia berdeham.
“Sebagaimana yang kamu ketahui juga, aku tinggal di sebuah rumah sewa murahan dekat pajak ikan. Gajiku yang kecil tidak cukup buat menyewa rumah yang lebih bagus, dan setiap bulannya habis untuk kebutuhan makanku sendiri. Jadi, seperti itulah kehidupanku ini, tanpa sedikit pun aku ingin mendustaimu.”
“Kejujuran dan kepolosanmu yang membuat aku tertarik padamu,” katanya kemudian.
“Tapi yakinlah, betapa pun aku tidak mengenal orangtuamu, mereka tak akan tertarik dengan semua itu.”
Dia tercenung beberapa lama. Mungkin juga dia memikirkan lebih dalam lagi. Saat kami keluar dari kedai minum, tidak banyak lagi yang kami bicarakan.
Dia pun melangkah bersisian dan aku dapat melihat kerudung kuning yang sesekali disingkap angin, memperlihatkan rambut lurusnya yang berkibar-kibar.
Semakin lama aku memandangnya dengan cara menyamping dan sesekali bertatapan wajah, semakin kuat daya tariknya memikatku. Aku belum tahu benar perasaanku sendiri apakah aku benar-benar telah jatuh hati padanya.