Uskup Tanjungkarang: Masa Prapaskah Kesempatan Olah Kesalehan
Editor: Makmun Hidayat
LAMPUNG — Uskup keuskupan Tanjungkarang, Mgr. Yohanes Harun Yuwono menyebut Prapaskah jadi kesempatan olah kesalehan umat Katolik. Pemberian abu pada dahi umat sebutnya jadi awal masa retret agung untuk banyak berdoa, merenungkan sabda Allah, mengoreksi diri, peduli kepada sesama. Prapaskah pada pandemi Covid-19 jadi masa keprihatinan untuk refleksi diri.
Olah kesalehan bagi umat Katolik sebutnya mengacu pada liturgi Rabu Abu. Gereja Katolik menggunakan simbol abu untuk menyadari kemanusiaan yang lemah. Abu yang ditandai pada dahi jadi simbol kerapuhan, kekotoran, gampang tertiup angin, tidak disukai orang,najis dan tidak bernilai. Relasi dengan Allah dan sesama diperbaiki dengan olah kesalehan pantang dan puasa.
Abu sebut bapa uskup mengingatkan manusia di hadapan Allah hanya debu. Manusia menyadari awal penciptaan saat Allah meniupkan napas kehidupan pada Adam sehingga menjadi kehidupannya. Namun imbas dosa manusia kehilangan rahmat keilahian-Nya sehingga butuh kerahiman Allah. Kerahiman tersebut diperoleh melalui kerendahhatian manusia di hadapan-Nya.
“Abu mengingatkan manusia bahwa asalnya dari debu dan akan kembali menjadi debu, namun karena kerahiman Allah manusia memiliki martabat luhur dengan banyak menyadari kekurangan, berbuat baik, solider kepada sesama dan mengedepankan pertobatan batin dibanding lahiriah,” terang uskup Tanjungkarang, Mgr Yohanes Harun Yuwono dalam homilinya, Rabu (17/2/2021)
Disiarkan secara virtual dari kapel Keuskupan Tanjungkarang, Mgr Yohanes Harun Yuwono menekankan pertobatan batiniah. Bentuk tobat lahir yang hanya sebatas permukaan sudah kerap diperlihatkan pada kehidupan nabi. Mengacu pada kisah Nabi Yoel, bapa uskup menyebut pertobatan lahiriah ditandai dengan mengoyak baju, menaburi abu pada kepala.