Mayjen Soeharto Siapkan Serangan Sekali Pukul Rebut Irian Barat
Latar belakang dicapainya kesepakatan New York dapat dilihat dari aspek politis maupun militer.
Pertama, secara militer, Panglima Komando Mandala Mayjen Soeharto berhasil melakukan infiltrasi dan mobilisasi kekuatannya untuk siap menjepit Belanda dari semua sudut, baik dari udara, laut dan satuan-satuan kecil darat, sebelum nantinya terjadi serangan besar dilaksanakan. Selain strategi dan taktik militer telah diperhitungkan dengan cermat, tambahan peralatan militer, khususnya kedatangan kapal-kapal selam yang di beli dari Uni Soviet merupakan ancaman serius bagi kekuatan Angkatan Laut Belanda. Terlepas apakah nantinya mampu memenangkan pertempuran selama lima hari sebagaimana diproyeksikan Mayor Jenderal Soeharto hal yang pasti adalah jatuhnya korban skala besar pada kedua belah pihak. Mayor Jenderal Soeharto merupakan perancang strategi sekaligus eksekutor lapangan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yang telah memaksa Belanda kehilangan muka dan angkat kaki dari Indonesia. Merupakan pilihan rasional bagi Belanda untuk menyerah kalah di meja perundingan sebelum nantinya kehilangan banyak pasukan dan citra internasionalnya untuk kedua kali. Kesiapan operasi militer telah menjadi alat bargaining diplomasi yang sangat kuat bagi Indonesia dalam menghadapi Belanda di meja perundingan.
Kedua, penguasaan Belanda atas Irian Barat tidak memiliki pijakan moral kuat setelah kolonialisasi bukan lagi pilihan populer dalam percaturan internasional. Pihak Indonesia berangkat ke medan perang dengan spirit menggelora untuk mengambil kembali haknya yang dirampas. Perbedaan spirit pasukan itu akan menggiring Belanda cepat atau lambat menelan kekalahan militer dari Indonesia dan kehilangan pijakannya di tanah Irian Barat. Belantara Irian Barat merupakan kawasan gerilya dimana pasukan Indonesia memiliki ketangguhan lebih baik jika dibandingkan dengan pasukan Belanda.