Pengamat Ekonomi Energi: Stimulus Lingkungan Hijau Masih Minim 

Editor: Makmun Hidayat

JAKARTA — Pengamat ekonomi energi dari Universitas Indonesia (UI), Berly Martawardaya menilai pemerintah Indonesia kerap memiliki kebijakan yang bergantung pada ekstraktif alam. Sehingga kebijakan ini kerap memicu kerusakan lingkungan tak terkendali.

Bahkan selama ini menurutnya, porsi stimulus yang tidak berhubungan dengan  lingkungan hijau atau ekonomi hijau itu sangat besar yakni 92 persen.

Namun kenyataannya pada pandemi Covid-19 ini, stimulus lingkungan hijau hanya sebesar 8 persen. Dimana dampak positifnya pun hanya berada di kisaran 0,3 persen.

“Angka 8 persen itu digunakan untuk subsidi biodiesel, meningkatkan deforestasi. Pemerintah kan harusnya peka terhadap tren global. Karena kan banyak investor  besar yang prioritaskan aspek environmental, sosial, dan governance sebagai kriteria utama untuk berinvestasi,” ujar Berly, pada webinar bertajuk Menuju Tren Global Ekonomi Ramah Lingkungan di Jakarta yang diikuti Cendana News, Rabu (24/3/2021).

Uniknya lagi, kata dia, beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di sektor ekstraktif diberikan subsidi tanpa persyaratan lingkungan. Sehingga kebijakan ini memperhambat tujuan Indonesia yang lebih ramah lingkungan.

Menurutnya, jika pemerintah ingin meningkatan investasi sejatinya harus menarik investasi yang berkualitas dengan memenuhi standar ESG.

Apalagi saat ini tren global telah menuju ke energi ramah lingkungan. Sehingga pembangunan EBT tanpa mengendalikan pertumbuhan energi batu bara dan minyak bumi tentu itu akan percuma.

“Jadi, janganlah pemerintah itu ada kontradiksi antara kebijakan yang dibuat, ya  seperti rencana pengembangan EBT, tapi anggaran minim,” ujar Berly Martawardaya, yang merupakan Direktur riset Institut for Development of Economics and Finance (INDEF).

Lihat juga...