Pengamat Ekonomi Energi: Stimulus Lingkungan Hijau Masih Minim
Editor: Makmun Hidayat
Padahal dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah memfokuskan pada pembangunan lingkungan hidup, ketahanan bencana dan perubahan iklim.
Namun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) alokasi pembangunan ekonomi hijau ini masih terbilang minim.
“Pada 2020, proprosi untuk pembangunan rendah karbon hanya mencapai 1,39 persen. Tahun 2018 dan 2019 proporsi tercatat hanya sekitar 2,3 persen,” urainya.
Bahkan kajian Badan Perencanaan Pendapatan Negara (Bappenas) proporsi APBN untuk pembangunan rendah karbon dialokasinya sangat rendah yakni kisaran 1-2 persen.
Dibandingkan negara ASEAN, Indonesia juga termasuk paling kecil realisasi penggunaan EBT dari pada Vietnam yang 50 kali lebih besar dari Indonesia.
“Kalau pembangunan rendah karbon itu sebagai prioritas, ya seharusnya ekspektasi anggarannya tinggi,” tukasnya.
Wakil Ketua Umum Bidang Energi Terbarukan dan Lingkungan Hidup Kadin Indonesia, Halim Kalla mengharapkan pemerintah segera memberikan kepastian untuk para pengusaha. Sehingga pengusaha lebih tertarik dengan investasi di sektor EBT.
“Saat ini formulanya tidak bankable dan tidak menarik bagi pengusaha, akhirnya kita tidak melaksanakan investasi. Pihak swasta atau pengusaha masih ragu-ragu untuk menggarap EBT,” ujar Halim, pada acara yang sama.
Padahal kata dia, ekonomi hijau merupakan kesepakatan lingkungan untuk mengatasi perubahan iklim dan dampak negatifnya. Apalagi pemerintah menargetkan 23 persen pembangkit listrik menggunakan EBT pada 2025, dan 31 persen di tahun 2050 dapat dicapai.
“Ya harapannya, semoga target itu bisa diwujudkan. Karena kan kita saat ini kan masih tergantung dengan energi fosil,” pungkasnya.