PKI Dapat Angin Segar Rebut Kekuasaan, Lancarkan Aksi-Aksi Sepihak

HANYA berselang 17 tahun dari aksi makarnya pada tahun 1948, Partai Komunis Indonesia atau PKI sudah bersiap melakukan perebutan kekuasaan di Indonesia pada tahun 1965. Aidit, Lukman, Sudisman dan Njoto, dengan derajat keterlibatan yang berbeda-beda; merupakan pelaku pemberontakan PKI Madiun yang selamat dan kemudian hari menjadi pelaku G 30 S/PKI.

Setelah kudeta Madiun, PKI memanfaatkan tiga situasi kebangsaan —Agresi Militer Belanda II, sistem politik Demokrasi Liberal tahun 1950 sampai 1959 dan sistem politik Demokrasi Terpimpin tahun 1959 sampai 1965 — sebagai momentum konsolidasi kekuatannya. Agresi Militer Belanda dimanfaatkan kader-kader PKI untuk meloloskan diri dari tindakan hukum dalam ham ini kejaran aparat dan penjara pemerintah. Juga untuk menghindar dari tindakan politik atau pembubaran dari percaturan politik bangsa.

Sistem politik Demokrasi Liberal tahun 1950 sampai 1959 dimanfaatkan PKI untuk penguatan basis keanggotaan dan bargaining posisinya dalam percaturan elit perpolitikan bangsa. Sedangkan era Demokrasi Terpimpin dengan berlindung di balik superioritas dan kharisma Presiden Soekarno dipergunakan PKI untuk memperkuat hegemoninya dalam pentas politik nasional, indoktrinasi gagasan revolusioner dan persiapan perebutan kekuasaan.

Melalui agitasi dan propaganda secara gencar serta janji-janji manis terhadap kalangan buruh (kenaikan upah) dan petani (perubahan tata guna lahan menurut versinya), PKI menempatkan dirinya sebagai partai terbesar keempat setelah PNI, Masyumi dan NU pada tahun 1955, dengan mendulang enam juta pemilih. Kemenangan PKI juga ditopang kemampuan propagandanya mengesankan diri seolah-olah sebagai pembela Pancasila, menempatkan sosok kharismatik Soekarno sebagai satu-satunya calon presiden dan menampilkan dirinya sebagai sosok pembela rakyat kecil.

Lihat juga...