Namun pada saat yang sama, penyebutan kata “abdihi” termaktub pengertian yang berisifat umum, yang memberi isyarat pengetahuan bahwa Allah Yang Maha Kuasa, membuka kesempatan yang sama bagi semua hamba-Nya, untuk merasakan kenikmatan spiritual yang sama, tanpa kecuali. Hal ini sesuai dengan tujuan penciptaan manusia yang berlaku secara umum, termasuk berlaku bagi jin. Sebagaimana firman-Nya.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ (56
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. Ad-Dzariyaat, ayat 56).
Berikutnya, telah menjadi pandangan yang bersifat umum, bahwa Muhammad saw mengalami peristiwa Isra Mi’raj itu dalam suasana tekanan psikologis yang mendalam, setelah pamannya Abu Thalib, dan istri tercinta beliau Khadijah meninggal dunia. Dua tokoh ini amat besar artinya bagi Muhammad SAW dalam menemani kesehariannya menjalankan syiar Islam, di tengah penolakan, intimidasi yang seringkali dilakukan oleh kaum musyrikin Mekah di kala itu.
Sebab itu, kata “lailan” pada ayat pertama surah al-Isra di atas, bukan semata menunjuk kepada waktu malam hari, namun juga bermakna sebagai situasi yang benar-benar sulit bagi Nabi Muhammad pada saat-saat itu.
Kesengsaraan, penderitaan, kesedihan yang memuncak –akibat ditinggal orang yang selama ini menjadi tumpuannya– yang dialami nabi ini tentu merupakan kehendak Allah swt, agar dengan begitu Muhammad sampai pada suatu situasi yang tidak lagi menyandarkan harapan pertolongannya kepada sesama manusia, (siapa pun manusia itu) sehingga benar-benar menyerahkan diri dan harapannya hanya kepada Allah semata. Dan apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, tanpa ada yang mampu menghalanginya.