Tentang Isra Mikraj

OLEH: HASANUDDIN

Demikianlah, sesuai kehendak-Nya, Nabi Muhammad benar-benar merasakan kesendirian, sehingga seluruh jiwa raganya diserahkan sepenuhnya dalam penguasaan Allah swt. Hilang seluruh ego dalam dirinya, takluk, tunduk dalam kuasa-Nya. Dan inilah makna dari kata “diperjalankan” pada ayat pertama surah al-Isra di atas. Suatu situasi dimana, seorang hamba benar-benar telah menyerahkan diri kepada Allah. Dan inilah yang dalam pandangan irfan disebut perjalanan dari maqam taayyun tsabitha ke tayyun awwal atau ahadiyah. Suatu situasi yang digambarkan dalam firman Allah swt berikut ini.

فَلَمْ تَقْتُلُوهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ قَتَلَهُمْ وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى وَلِيُبْلِيَ الْمُؤْمِنِينَ مِنْهُ بَلاءً حَسَنًا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (17

“Maka (yang sebenarnya) bukan kalian yang membunuh mereka, tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin dengan kemenangan yang baik”. (QS. Al-Anfaal ayat 17).

Sebab itu dalam peristiwa Isra Mi’raj itu keseluruhan yang dialami Nabi Muhammad saw adalah af’al (perbuatan) dari Allah SWT atas dirinya, dan sama sekali tidak ada unsur keterlibatan sifat manusia dari Muhammad, sehingga dalam ayat dikatakan “diperjalankan”, dan bukan berjalan sendiri dengan kemampuannya.

Peristiwa seperti ini dalam konteks berbeda sesungguhnya juga dialami oleh para hamba Allah terutama di kalangan para nabiullah dan dikisahkan di dalam Alquran. Misalnya kisah disaat Nabi Ibrahim dibakar oleh Raja Namrud, keselamatan Ibrahim dari kobaran api, bukan karena Ibrahim sakti, atau kebal dari api, namun semata karena kuasa Allah yang memerintahkan agar api memunculkan sifatnya yang kedua, yakni mendinginkan.

Lihat juga...