Hikayat Sulamat
CERPEN MUHAMMAD AQIB KH
MALAM itu, rembulan bersinar terang. Cahayanya berpendar, menembus celah-celah rerimbun hutan Serawak.
Angin berhilir kencang, mengayunkan dahan-dahan pepohon yang ada di dalamnya. Juga ada yang jatuh berserak memenuhi jalan setapak hutan, yang dibuat oleh pelancong-pelancong nakal dari negeri seberang yang tak membawa paspor (surat izin) bekerja di negara Malaysia.
Mereka yang dipergoki polisi keamanan negara akan berlari secepat kilat menuju hutan Serawak – entah namanya apa – dan hanya mereka saja yang berani menjamah hutan itu. Selain mereka, tak ada.
Namanya Sulamat. Sudah 3 tahun ia melancong di Malaysia, mengais rezeki demi anak dan istri. Ia bersikukuh berangkat ke Malaysia 3 tahun lalu, setelah temannya yang telah sukses, Aryo, mengajaknya.
“Usah kau bawa paspor, Mat. Aku dulu juga tak pakek itu paspor-pasporan. Yang penting, jika ada polisi keamanan, lari saja sekencang-kencangnya!” katanya meyakinkan.
Sekarang, nyawanya berada di ujung kematian.
“Mau ke mana awak? Keluar? Daripada awak adikurung di penjara…. ” desis Sulamat.
Sulamat yang ngos-ngosan sedang bersembunyi di balik pohon besar di hutan itu, sesekali berharap keajaiban dari Tuhan akan datang.
Napasnya tersengal-sengal. Kakinya belepotan lumpur. Telah ia lalui kejadian seperti ini berkali-kali. Namun kali ini, lain seperti biasanya ia tetap optimis dan sekaligus pesimis.
Karena terlalu gugup dan gemetar, Sulamat tak sengaja menginjak akar pohon besar, hingga menimbulkan suara yang terdengar oleh para polisi keamanan yang mengejarnya.
Sejurus kemudian, suara senapan dimuntahkan tepat ke arah sumber bunyi itu. Dar, satu kali. Sulamat diam saja.