Menukam Singa Kumpeh
CERPEN BERI HANNA
LIMA pasukan yang baru sampai di kediamanmu —setelah sepekan mencarimu— datang dengan wajah murung sambil memanggul sesuatu yang dibalut dedaunan.
Orang-orang yang telah berkumpul —karena kabar kamu dimasukkan ke kapal Belanda, lalu terdengar ledakan bedil yang meyakini orang-orang kamu telah tiada —menundukkan kepala saat lima pasukan itu berjalan menghadap Panglima Tudak Alam.
“Benarkah itu Raden Mat Tahir?” tanya seseorang. Melihat wajah Panglima Tudak Alam yang memucat setelah memeriksa balutan itu, semua orang ikut tersambar pucat yang serupa, membuat suasana gamang.
Orang-orang mendekat. Panglima Tudak Alam dan lima pasukan mencoba menghadang, tapi orang-orang itu, memaksa diri hingga terjadi dorong-dorongan, hingga balutan dedaunan itu sobek, mayat yang telah tercabik-cabik—bekas diterkam harimau—jatuh. Semua orang terkejut.
“Allahu Akbar. Allah maha besar, tiada yang tahu kematian seseorang berakhir seperti apa.”
“Astagfirullah, kita telah terkutuk dengan membiarkannya berakhir tragis seperti ini.”
Panglima Tudak Alam menenangkan orang-orang, ia membungkam mulut-mulut yang terus histeris tak keruan. Usaha itu seakan sia-sia, karena orang-orang makin histeris saat melihat sebuah rakit dengan pengayuh bambu yang tinggi di Sungai Batang Hari.
Semua mata tertuju ke situ. Semakin rakit mendekat, orang-orang berteriak melengking, “Raden Mat Tahirkah itu?” kemudian mereka berjatuhan pingsan.
Setiba langkahmu ke darat, tak ada wajah ketakutan atau wajah was-was juga wajah yang serius darimu. Kamu tersenyum dan meminta segelas air sebagai pelepas dahaga. Meski Panglima Tudak Alam masih terheran-heran tercekik dengan napasnya sendiri, ia berlari mengambilkan air untukmu.