Tak Sekadar Profesi, Pranatacara Berbahasa Jawa Juga Duta Budaya
Editor: Koko Triarko
SEMARANG – Kula piniji hanjejeri minangka pangendaliwara, keparenga hambuka wiwaraning suka wenganing wicara dwaraning kandha, saperlu mratitisaken murih rancaking titilaksana adicara pawiwawahan prasaja ing ratri kalenggahan punika.
Sederat kalimat bahasa Jawa krama inggil tersebut kerap disampaikan saat pembawa acara atau pranatacara membuka sebuah acara. Secara sederhana dimaknai meminta izin untuk membuka kegiatan, agar berjalan dengan baik dan lancar.
“Kehadiran pranatacara dalam masyarakat Jawa adalah bagian dari pelestarian budaya Jawa yang adiluhung, sebagai sumber kearifan dalam kehidupan bermasyarakat dan mencerminkan identitas lokal masyarakat Jawa,” papar pengamat budaya Jawa, sekaligus Ketua Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah, Universitas PGRI Semarang (UPGRIS), Alfiah, M.Pd., saat dihubungi di Semarang, Minggu (25/4/2021).
Keberadaan pranatacara tersebut selalu ada dalam upacara adat Jawa, seperti pernikahan, kematian (kesripahan), pertemuan (pepanggihan), perjamuan (pasamuan), pengajian (pengaosan), pentas, dan sebagainya.
“Pranatacara merupakan profesi yang membutuhkan keahlian khusus, karena yang bersangkutan harus memahami benar susunan suatu acara menggunakan bahasa Jawa krama inggil. Keberadaan mereka layaknya master of ceremony (MC), sangat berpengaruh pada kesuksesan sebuah acara. Bisa runtut, urut dan mengalir,” lanjutnya.
Namun di balik semua itu, pranatacara tidak sekedar profesi, melainkan juga menjadi duta budaya Jawa.
“Harus diakui saat ini banyak orang Jawa yang kehilangan jawane, terutama dari segi tutur bahasa. Banyak yang tidak bisa berbahasa Jawa dengan baik, sehingga dengan keberadaan pranatacara ini, mereka bisa ikut melestarikan budaya itu dalam kehidupan,” tambahnya.