Karinding, Interpretasi Interaksi Manusia dengan Alam
Redaktur: Satmoko Budi Santoso
BOGOR – Walaupun sederhana, alat musik Karinding memiliki nilai filosofis yang sangat kuat dalam budaya Sunda. Di dalamnya ada norma-norma ketuhanan, kemanusiaan, kemasyarakatan dan alat interaksi dengan alam, yang ditunjukkan melalui bentuknya dan suara yang dikeluarkan.
Peneliti Budaya Sunda, Iman Rahman Angga, yang akrab dipanggil Kang Kimung menyebutkan alat musik Karinding sudah ada sejak enam abad yang lalu.
Karinding menurut bahasa terdiri dari kata Ka Ra Da Hyang yang artinya dengan diiringi oleh doa sang Maha Kuasa. Atau ada juga yang mengartikan Ka=sumber dan Rinding= bunyi jadi artinya sumber bunyi.
“Alat musik dan filosofis kehidupan sebagai hal yang tidak dapat dipisahkan. Satu kesatuan antara tatanan kehidupan alam semesta, kemasyarakatan dan ketuhanan bahkan individu yang diwujudkan dalam getar dan dengung karinding,” kata Kang Kimung dalam acara budaya di Museum Tanah dan Pertanian Bogor, Minggu (30/5/2021).
Diceritakan, secara turun temurun, pada zaman dahulu, karinding pertama kali diberikan kepada anak kecil, dengan harapan dari kecil sang anak sudah memahami getar dan dengung yang dihasilkan oleh karinding yang menjadi latar belakang awal pengelolaan alam dan lingkungan hidup.
“Bagi anak kecil karinding hanya sebatas menjadi alat kaulinan (permainan) saja. Baru saat mereka beranjak dewasa, mereka mulai melalui masa-masa pubertas dan karinding dijadikan sebagai alat musik pergaulan antar-kawula muda untuk menarik lawan jenis dengan suara khasnya yang bisa menjadi daya pikat,” ucapnya.