Kekerasan Jadi Masalah Utama ABK Indonesia di Kapal Asing

JAKARTA – Laporan terbaru Greenpeace Asia Tenggara (GPSEA) bekerja sama dengan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), mencatat  penahanan upah hingga tindakan kekerasan di tempat kerja menjadi masalah utama yang dihadapi para anak buah kapal (ABK) Indonesia di kapal ikan asing.

Laporan bertajuk “Perbudakan di Laut: Kasus ABK Indonesia di Kapal Asing” (Forced Labour at Sea: The Case of Indonesian Migrant Fishers), itu menyoroti komplain yang dilaporkan ABK Indonesia kepada SBMI dalam periode Mei 2019 hingga Juni 2020 (13 bulan), untuk mengungkap pola dan jenis kerja paksa yang masih terjadi di kapal penangkap ikan jarak jauh.

“Melalui pemeriksaan dokumen, wawancara dengan ABK, serta pencocokan dengan pemberitaan di media massa, Greenpeace Asia Tenggara mengidentifikasi indikator kerja paksa yang paling banyak dilakukan, di antaranya penahanan upah (87 persen), lingkungan kerja dan hidup yang penuh kekerasan (82 persen), penipuan (80 persen) dan penyalahgunaan kerentanan (67 persen),” kata Koordinator Riset Regional Greenpeace Asia Tenggara Ephraim Batungbacai, dalam jumpa pers virtual, Senin.

Ephraim menuturkan, pihaknya melakukan pemeriksaan terhadap komplain dari 62 ABK Indonesia dan ditemukan 20 perusahaan agen tenaga kerja Indonesia dan 26 perusahaan perikanan dari Cina, Hong Kong, Taiwan, Cote d’Ivoire, dan Nauru, diduga melakukan praktik kerja paksa terhadap anak buah kapal (ABK) Indonesia.

Dari 118 kasus yang dilaporkan sejak Mei 2019 hingga Juni 2020, hanya 62 kasus dengan kelengkapan dokumen yang baik yang dimasukkan dalam laporan.

Dalam kesempatan yang sama, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Afdillah, mengatakan masalah perbudakan yang dialami ABK, khususnya ABK Indonesia dan Asia Tenggara belum selesai dan justru terus meningkat.

Lihat juga...