Kurma untuk Tetangga

CERPEN SUNARYO BROTO

ANGIN pagi di beranda rumah Suto semilir. Langit baru mendung dan matahari sembunyi. Cuaca tak begitu cerah.

Pagi itu Suto leyeh-leyeh saja, bersantai sambil mengeringkan keringatnya yang berleleran. Suto barusan selesai jalan pagi yang menjadi rutinitasnya setelah pensiun dari pekerjaannya di pabrik pupuk di Kalimantan.

Dipandanginya ke depan, gunung Lawu yang terlihat gagah dari kejauhan. Lalu dilihatnya 2 batang pohon kurma setinggi 3 meter di dekat kolam ikan. Salah satunya sudah berbuah.

Warnanya kuning dan rasanya manis. Buah itu sudah habis dibagi dengan tetangga, keluarga dan teman-teman dekatnya. Tentunya tetangga senang karena jarang makan buah kurma segar yang rasanya manis, dagingnya lembut mirip buah sawo.

Beberapa kali pohon kurma itu menyuguhkan buahnya dan tetangga sekitarnya sudah merasakannya. Memang dulu Suto menanam kurma dengan niat untuk dimakan sendiri, keluarga dan tetangga sekitar. Tidak untuk dijual.

Sampai Suto yang belum lama pindah itu dijuluki, Suto Kurma karena ada pohon kurma di depan rumahnya. Karena belum banyak yang kenal, kalau disebut Suto, tetangga ada yang bingung.

Suto siapa? Yang baru pindah? Paling gampang mengingat ya yang ada pohon kurma. Hanya rumah Suto yang punya pohon kurma.

Sudah dua tahun ini Suto tinggal di kota kecil paling timur di Jawa Tengah, Karanganyar. Dia tinggal bersama istrinya. Dua anaknya sudah bekerja di kota lain dan anaknya ragil kuliah di Yogya.

Suto ingat awal mula menanam kurma. Sebenarnya sudah lama sekali Suto ingin menanam kurma. Waktu naik haji, 18 tahun lalu, sepulang salat di Masjidil Haram di kiri kanan jalan menuju hotelnya banyak orang membagikan makanan atau buah gratis untuk jemaah haji.

Lihat juga...