Perda Pesantren: Antara Peningkatan SDM atau Komoditas Politik Semata?
OLEH: M. IWAN SATRIAWAN
“Pesantren sudah banyak hilang di Indonesia, hal ini karena hilangnya pendidikan asli pesantren yaitu pengajian sorokan, bandongan digantikan dengan Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah”
KH Agus Sunyoto
PESANTREN adalah institusi pendidikan agama di bawah pimpinan seorang kiai atau beberapa kiai yang dibantu oleh sejumlah santri senior dan beberapa anggota keluarganya. Pesantren adalah bagian yang sangat penting bagi kehidupan kiai, sebab ia adalah tempat kiai mengembangkan dan melestarikan ajaran, tradisi dan pengaruhnya di masyarakat khususnya dalam bidang keagamaan Islam.
Dari segi historis, pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous), sebab lembaga yang serupa pesantren ini sudah ada di Nusantara sejak zaman kekuasaan Hindu-Budha. Sehingga para kiai tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga tersebut saja.
Pesantren berdiri sebagai upaya ulama untuk tafaqquh fid din, yakni upaya untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan Islam kepada para santri dan juga masyarakat sekitar. Karena itulah selain fungsi tradisionalnya sebagai lembaga pendidikan yang mendidik pada santrinya, pesantren juga merupakan lembaga dakwah. Maka tidak heran jika banyak nama-nama pesantren yang lebih dikenal dengan nama daerah di mana pesantren tersebut tumbuh dan berkembang dibanding nama asli pesantren itu sendiri.
Dalam perkembangannya, pesantren selain sebagai institusi pendidikan juga menjadi tempat perlawanan melawan penjajah Belanda. Tidak kurang munculnya nama-nama seperti Raden Mas Ontowiryo yang kemudian lebih dikenal dengan Pangeran Diponegoro adalah hasil didikan pesantren, kemudian ada Kiai Zainal Mustafa yang memimpin pemberontakan melawan Jepang di Singaparna Tasikmalaya, Kiai Hasyim Asy’ari yang mencetuskan Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 dan anaknya Wahid Hasyim sebagai perumus UUD 1945.