Perda Pesantren: Antara Peningkatan SDM atau Komoditas Politik Semata?

OLEH: M. IWAN SATRIAWAN

Di era penjajahan Belanda, peran pesantren sempat dikerdilkan dengan sebutan model pendidikan tradisional  atau kuno dan kolot. Sebagai bandingannya Belanda mengenalkan model pendidikan Barat yang modern dengan memakai bangku, tulisan memakai huruf latin dan sistem ijazah sebagai bukti kelulusan.

Selain itu, politik mengkerdilkan atau menjauhkan pesantren dari masyarakat ini adalah akibat saran dari Snouck Hurgronje melalui teori receptie-nya yang menyatakan bahwa hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan atau diterima keberlakukannya oleh hukum adat. Artinya hukum Islam mengikuti hukum adat masyarakat sekitar. Teori ini bertujuan memisahkan hukum Islam yang identik dengan pesantren dengan masyarakat karena pesantren dalam sejarahnya selalu menghasilkan pejuang-pejuang kemerdekaan mulai dari Aceh hingga Maluku untuk melawan penjajah Belanda.

Perda Pesantren

Sebuah gebrakan telah dibuat Presiden Jokowi pada tahun 2015 dengan mengeluarkan Keppres Nomor 22 Tahun 2015 tentang tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Pengakuan negara terhadap eksistensi pesantren dengan santrinya muncul setelah 70 tahun Indonesia merdeka ini kemudian diikuti dengan disahkannya UU Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren. Bahwa pondok pesantren sebagai ciri khas pendidikan agama di Indonesia telah mewarnai dinamika perjalanan hidup bangsa Indonesia sejak sebelum kemerdekaan, revolusi merebut dan mempertahankan kemerdekaan hingga saat ini.

Salah satu poin penting dari UU tentang Pesantren tersebut adalah diberikannya kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memberikan fasilitasi pendidikan pesantren baik berupa pendampingan hingga pendanaan. Hal ini tertuang dalam pasal 46, 48 dan 49 UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.

Lihat juga...