Perda Pesantren: Antara Peningkatan SDM atau Komoditas Politik Semata?
OLEH: M. IWAN SATRIAWAN
Namun sekali lagi, undang-undang hanya akan ada hitam di atas putih saja dan tidak berimbas kepada masyarakat khususnya pesantren apabila pemangku kebijakan dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah khususnya pemda dalam membuat perda turunan undang-undang setengah hati. Hal ini dapat disebabkan oleh dua hal, pertama hanya untuk resapan anggaran penyusunan propemperda atau yang kedua adalah akibat tekanan politik atau ingin mendapatkan dukungan pesantren dalam pilkada maka perda tentang pesantren dibuat, namun hanya sekadar formalitas an sich di mana tidak ada kewajiban secara jelas kepada pemda untuk memberikan bantuan pendanaan bagi keberlangsungan pendidikan dan pembangunan fasilitas pesantren.
Letak formalitas perda tersebut dapat dilihat atau ditemukan dalam bab tentang pendanaan akan selalu menggunakan diksi atau kalimat “dapat” atau “boleh”. Dan umumnya pasal ini ditutup dengan disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah. Hal inilah yang terjadi pada perda pesantren Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Jawa Barat dan Raperda tentang Penyelenggaraan Pesantren di Provinsi Lampung. Dan tentunya di beberapa daerah lain akan sama nasibnya jika tidak dicermati oleh pimpinan pondok pesantren akibat sudah merasa puas sudah dibuatkan perda pesantren namun rupanya hanya namanya saja, tidak pada bantuan fasilitasi berupa pendanaan.
Maka adanya perda pesantren di berbagai daerah apakah memang ada niatan tulus dari pemerintah daerah untuk peningkatan kualitas SDM lulusan pondok pesantren ataukah hanya sebagai komoditas politik an sich? Wallahu a’lam. ***
M. Iwan Satriawan, Dosen Fakultas Hukum UNILA, sedang menempuh studi doktoral di Universitas Indonesia