Empat Tersangka Kasus Korupsi Anak Perusahaan Antam Ditahan Jaksa
JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung), menahan empat dari enam tersangka perkara dugaan tindak pidana korupsi penyimpangan dalam proses pengalihan Izin Usaha Pertambangan (IUP) batubara seluas 400 hektare di Kabupaten Sarolangun, Jambi.
Izin pertambangan tersebut diketahui dari anak perusahaan PT Antam Tbk. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan, keempat tersangka yang ditahan adalah, AL selaku Direktur Utama PT Antam Tbk periode 2008-2013, HW selaku Direktur Operasional PT Antam Tbk.
Kemudian, BM selaku mantan direktur utama PT ICR periode 2008-2014 dan MH selaku komisaris PT Tamarona Mas Internasional periode 2009-sekarang. “Tim penyidik telah menetapkan para tersangka untuk dilakukan penahanan selama 20 hari terhitung sejak 2 Juni 2021 sampai dengan 21 Juni 2021. Mereka ditempatkan di Rutan Salemba cabang Kejagung tiga orang dan satu orang di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan,” kata Leonard, Rabu (2/6/2021).
Sebelum melakukan penahanan, Tim Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) terlebih dahulu melakukan pemeriksaan terhadap enam orang. Saat ini, dari keenam orang tersebut, empat di antaranya tersangka dan dua orang sebagai saksi.
Dua orang saksi yang diperiksa, yakni BT selaku karyawan PT Antam Tbk dan DM selaku senior manajer legal PT Antam Tbk 2007-2019. Keenam orang tersebut diperiksa terkait mekanisme atau Standard Operating Procedure (SOP) akuisisi PT. Citra Tobindo Sukses Perkasa (CTSP) oleh PT. Indonesia Coal Resources (ICR) anak perusahaan PT Antam Tbk.
Leonard menyebut, dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi tersebut, penyidik telah menetapkan enam orang tersangka. “Hari ini yang hadir empat orang tersangka. Dua orang tidak hadir,” kata Leonard.
Dua orang tersangka yang tidak hadir tersebut, yang pertama tersangka AT, selaku Direktur Operasional PT. Indonesia Coal Resources (ICR) dan tersangka MT, pihak penjual saham atau direktur PT CTSP selaku penjual. “Alasan tidak hadir satu karena sakit, yang satunya belum ada keterangan. Pemeriksaan kepada yang bersangkutan akan dilanjutkan pada minggu depan,” kata Leonard.
Disebutkan, dalam perkara ini, dilakukan perjanjian jual beli saham pada 12 Januari 2011. Tersangka MH mendapat pembayaran sebesar Rp35 miliar dan tersangka MT mendapatkan pembayaran Rp56,5 miliar. Sebelumnya, tersangka BM melakukan pertemuan dengan tersangka MT selaku penjual (kontraktor batubara) pada 10 November 2010 dan telah ditentukan harga pembelian yaitu Rp92,5 miliar. Padahal belum dilakukan due dilligence.
Lalu pada 19 November 2010 di Jakarta dilaksanakan MOU antara PT. ICR-PT. CTSP-PT.TMI-PT. RGSR, dalam rangka akuisisi saham PT. CTSP yang memiliki IUP dengan luas lahan 400 hektare. Tersangka BM dan tersangka ATY, tidak pernah menunjukkan IUP asli atas lahan tambang batubara yang menjadi objek akuisisi.
Perbuatan tersangka BM bersama-sama dengan tersangka ATY, saksi AA, tersangka HW, tersangka MH dan tersangka MT tersebut telah sebagaimana hasil audit Kantor Akuntan Publik (KAP) Pupung Heru, merugikan keuangan negara sebesar Rp92,5 miliar.
Keenam tersangka dikenakan pasal primair Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Subsidair Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (Ant)