Memahami Esensi Manusia, Perspektif Al-Qur’an sebagai Ilmu Pengetahuan

OLEH: HASANUDDIN

MANUSIA melalui berbagai disiplin ilmu pengetahuan, telah mencoba memberikan penjelasan tentang apa itu manusia. Kita dapat membaca berbagai pandangan yang telah banyak ditulis dengan berbagai perspektif ilmu pengetahuan.

Ada yang mencoba menjelaskan dari segi ilmu-ilmu sosial, yang pada intinya bahwa manusia adalah makhluk yang saling membutuhkan satu sama lain dalam membangun peradabannya. Atas pandangan seperti ini Al-Qur’an tidak membantah, bahkan membenarkan dengan mengatakan manusia sebagai “an-naas”. Sehingga sebutan “an-naas” dalam Al-Qur’an, mesti didekati pemahamannya melalui ilmu-ilmu sosial.

Para ahli biologi mempelajari manusia, dan berkesimpulan bahwa manusia sama saja dengan hewan atau binatang  dari segi materi penciptaannya. Dalam hal ini, Al-Qur’an membenarkan dengan mengatakan manusia sebagai “basyar”. Sehingga “basyar” diartikan sebagai makhluk biologis.

Selanjutnya, lebih di dalam dari dimensi biologis ini, ada dimensi psikologis, atau kejiwaan, karena objek ilmu yang mereka amati tentang perilaku jiwa manusia. Sehingga para psikolog yang concern mempelajari manusia pada sisi psikisnya, memberikan penjelasan atas fenomena-fenomena kejiwaan. Atas hal seperti ini, Al-Qur’an menyebut manusia sebagai “al-insan”.

Hingga dimensi ketiga ini, ilmu pengetahuan modern, nampaknya telah berkembang pesat dalam memahami apa itu manusia. Namun pemahaman atas manusia hanya dengan mengamati tidak dimensi (sosial, biologis, psikologis) belumlah sempurna, dan masih berupa pemahaman yang feri-ferial, belum menyentuh esensi kemanusiaan yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an. Dimensi berikutnya menurut Al-Qur’an adalah dimensi “ruh”. Dimensi ini, belum mampu dijelaskan oleh ilmu pengetahuan, dan masih dalam proses pencarian di kalangan para saintis.

Lihat juga...