Memahami Esensi Manusia, Perspektif Al-Qur’an sebagai Ilmu Pengetahuan
OLEH: HASANUDDIN
Dalam hal dimensi ruh ini Allah swt berfirman:
فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ (29)
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kalian kepadanya dengan bersujud.” (QS. Al-Hijr ayat 29).
Ayat dengan bunyi yang persis sama, lihat pula pada surah Shad ayat 72.
Dikatakan bahwa kesempurnaan penciptaan manusia itu, ketika Allah telah meniupkan ruh kepada biologisnya atau jasadnya. Dan oleh sebab itu, untuk memiliki pemahaman yang esensial tentang manusia, mestilah manusia itu memiliki pengetahuan tentang ruh. Karena ruh ini, diluar jangkauan persepsi inderawi manusia, maka sains tidak memiliki kemampuan memberikan penjelasan secara detail. Adapun informasi yang telah dikumpulkan para ilmuan tentang ruh ini, masih bersifat ad hoc, spekulatif, juga tidak menyeluruh.
Petunjuk Allah
Dalam berbagai ayat dalam Al-Qur’an, Allah sesungguhnya telah memberikan “petunjuk”. Namun makna pamungkas yang terkandung dalam berbagai ayat-ayat Al-Qur’an itu, hanya Allah berikan kepada yang Dia kehendaki, sebagai salah satu bentuk karunia Allah. Sebaliknya, Allah tidak memberikan petunjuk (tidak memberitahukan makna) yang terdapat dalam Al-Qur’an itu, kepada yang Dia tidak kehendaki. Karena ketiadaan petunjuk itu dapat berakibat pada tersesatnya manusia, maka disebut sebagai “siksaan” atau azab Allah.
Allah swt misalnya memberitahu manusia bahwa ruh itu bersifat jujur, atau “ruh al-amin”, hal ini karena ruh itu “suci”, atau disebut dengan ruh al-quds. Malaikat Jibril terkadang disebut “ruhul kudus”. Makna “suci” artinya terbebas dari percampuran dzat (atau murni). Maka jika ruh manusia itu “ditiupkan” Allah ke dalam dimensi biologis manusia, serta meliputi dimensi psikologisnya, maka keberadaan ruh tidaklah bercampur dengan dimensi biologis atau dimensi psikologis, namun memberi pengaruh kepadanya.