Pulang dalam Sunyi

CERPEN HARI BAKTI MARDIKANTORO

MALAM kering. Entah kenapa, aku tak bisa tidur. Apalagi udara juga panas menyengat. Mata ini rasanya sulit terpejam. Seperti ada kekuatan yang memaksa membuka mataku lebar-lebar.

Padahal hari sudah menjelang pagi. Udara panas Jakarta perlahan masuk bersirobok lewat celah-celah dinding rumah yang kukontrak dalam beberapa bulan ini. Keringat selalu saja mengendap dalam malam yang kering.

Ya, ini malam keempat aku terpenjara seperti ini. Aku sendiri tidak tahu penyebab pastinya. Hanya ada rasa sesak di dada, bukan karena sakit tapi lebih pada rasa yang aku sendiri sulit menggambarkannya.

Rasa yang kerap mengaduk-aduk. Yang jelas, ada sesosok wajah yang selalu muncul. Wajah yang selalu kurindu.

Gadis kecil yang kini beranjak dewasa itu selalu membayang pada setiap helaan napas yang mengiringi kehidupanku.

Apalagi baru kali ini aku berpisah dengan keluargaku dalam jangka waktu yang relatif lama. Ini semua gara-gara Covid-19.

Oleh karena pandemi, aku harus kehilangan pekerjaanku dan kehormatan di hadapan keluarga besarku.

“Aku tidak bisa seperti ini terus,” kataku ke istri pada suatu malam yang basah sebelum aku merantau.

“Lantas mau kerja di mana?

“Kebetulan ada teman yang mengajakku kerja di Jakarta.”

“Sampeyan mau meninggalkan aku dan anak kita?” cecar istriku. Aku hanya diam. Ada keheningan melintas. Jujur, sebenarnya aku sendiri tak mau melakukannya.

Suatu kehidupan yang aku sendiri belum bisa membayangkan dan tak ingin membayangkan hidup jauh dengan keluarga, apalagi dengan anak semata wayang, gadis yang sangat butuh perhatianku. Kubiarkan jeda sesaat. Kuhela napas dalam-dalam.

“Ya terpaksa, demi keluarga dan anak kita” akhirnya aku menjawab setelah kubiarkan sepi menjadi jeda. Sudah kuduga istriku akan terkejut. Mukanya memerah tapi hanya sesaat. Kemudian sepi tercipta di antara kami.
***
SETELAH mempertimbangkan banyak hal, akhirnya aku memutuskan untuk pulang daripada aku jadi edan karena tidak pernah bisa tidur.

Lihat juga...