Pulang dalam Sunyi

CERPEN HARI BAKTI MARDIKANTORO

Aku sudah kangen keluargaku. Bahkan aku merantau ke Jakarta juga karena ingin menghidupi keluarga, ingin menunjukkan sebagai suami dan bapak yang bertanggung jawab.

Siang belum sempurna. Namun udara Jakarta sudah menyengat. Hujan dalam beberapa hari ini belum juga bisa mengurai panas.

Beberapa pekerja proyek di pinggiran Jakarta itu tergopoh-gopoh dalam kesibukannya masing-masing. Keringat keluar dari badan-badan tegap berotot membuat kulit hitam mereka kian mengkilap.

Debu beterbangan di tiup angin, juga karena beberapa truk hilir mudik membawa material. Siang yang kotor.

Aku masih gamang. Keinginanku untuk pulang makin menggebu. Entahlah, ada rasa yang meledak-ledak ingin segera bertemu anak gadis semata wayang yang kupunya. Itulah harta satu-satunya yang paling berharga. Tidak ada yang lain.

Sejenak kusandarkan punggungku di pojok bangunan yang belum jadi. Keringat masih mengucur di seluruh tubuhku. Kuseka dengan telapak tangan tapi sebentar kemudian mengucur lagi.

Waktu istirahat tiba. Para pekerja mulai menepi. Ada yang membawa bekal sendiri tapi banyak juga yang makan di warung sederhana di pojok area proyek itu.

“Beberapa hari ini, kok seperti tak bergairah, Mas. Kenapa?” tanya Maryono, teman di kampung yang menawariku kerja di proyek ini.

Aku masih diam. Soto dan es teh yang kupesan dari tadi belum juga sampai di hadapanku. Aku maklum karena memang harus antre.

Istri mandor yang berjualan di warung itu tenggelam dalam kesibukan melayani para pembeli yang mayoritas pekerja di proyek itu.

Maryono melirik ke arahku. Namun aku masih diam, membiarkan rasa penasaran temanku itu menggumpal.

Lihat juga...