Pulang dalam Sunyi
CERPEN HARI BAKTI MARDIKANTORO
“Masuk!” tutur Pak Mandor ketus begitu aku mengetuk pintu.
“Mohon maaf Pak Mandor, saya mau bertemu,” tukasku berhati-hati.
“Ada keperluan apa?” Saya tidak langsung menjawab. Kembali keraguan mendera. Pak Mandor memandangku tajam. Aku gelagapan.
“Anu… Pak Mandor, saya mau minta izin dua atau tiga hari untuk pulang kampung.” Akhirnya aku menyampaikan niatku.
Ada rasa lega yang sejak tadi menghimpit. Pak Mandor justru yang terkejut. Matanya melotot, memandangiku dari bawah ke atas.
“Kok mendadak, kenapa?” Pertanyaan Pak Mandor itu tidak langsung kujawab, kubiarkan jeda sepi menemani percakapan kami.
Haruskah aku jujur? Hanya karena kangen, aku harus pulang meninggalkan pekerjaanku? Kembali keraguan mendera. Aku masih diam.
“Saya tak akan mengizinkan. Proyek ini harus segera selesai. Saya sudah diancam untuk dipecat kalau proyek ini meleset lagi”. Justru jawaban Pak Mandor mengejutkanku.
Nada bicaranya tinggi, amarahnya meledak. Aku benar-benar terkejut. Seumur hidupku belum pernah aku dimarahi seperti ini hanya gara-gara masalah sepele.
Apalagi tangannya berkali-kali menunjuk ke arah mukaku.
Aku betul-betul tersinggung. Kuberanikan diri menatap mata Pak Mandor. Pada saat yang sama mata Pak Mandor juga memandangku.
Tatapan mata kami bersirobok. Berkilat memancarkan amarah. Kembali aku ingat anakku. Kembali tekadku untuk pulang membara meski tanpa seizin Pak Mandor.
“Keluar!” hardik Pak Mandor. Sekali lagi kutatap Pak Mandor dengan kekalutan yang hampir memuncak. Aku merasa harga diriku sudah dilecehkan Pak Mandor.
Aku keluar. Namun sedetik berikutnya aku kembali lagi. Darahku mendidih terbakar amarah.