Pulang dalam Sunyi

CERPEN HARI BAKTI MARDIKANTORO

Plaak…plaak, buuk…buuk!

Tanganku berkali-kali menempeleng muka Pak Mandor. Lelaki bertubuh tegap itu sempoyongan mendapat serangan mendadak. Aku tak peduli lagi.

Bahkan lelaki itu juga kucekik. Tubuhnya meronta. Lantas ia berteriak-teriak memanggil siapa saja yang bisa dipanggil. Dalam sekejap, ruangan Pak Mandor penuh orang.

Dari mulut Pak Mandor yang berdarah, keluar sumpah serapah yang ditujukan padaku. Aku tak peduli lagi.

Orang-orang berteriak. Sebagian memegangi Pak Mandor. Yang lain memegangi tubuhku. Aku meronta, aku berontak. Orang yang bisa menenangkanku hanya Maryono.

Lelaki teman masa kecilku di kampung itu tahu permasalahanku. Ia lantas menarikku keluar dari ruang Pak Mandor. Ia lalu menggelandang tubuhku keluar dari area proyek.

“Pulanglah kalau memang itu maumu,” ujar Maryono pendek sambil menyelipkan beberapa lembar uang ke sakuku. Kupeluk Maryono, lantas aku lari mencari tumpangan ke arah terminal.

Pagi sekali aku sudah sampai di terminal kota asalku. Kabut mengiringi kedatanganku. Pagi yang basah. Beberapa bus dan angkot sudah mulai mengangkut penumpang. Bahkan kernet sudah berteriak-teriak menawarkan beberapa kota yang akan dituju bus itu.

Kampungku masih satu jam perjalanan lagi. Kuputuskan menyewa ojek yang ada di terminal. Meskipun aku sudah tak pegang uang lagi tapi aku tak khawatir kalau sudah sampai kampung.

Tukang ojek yang membawaku menembus dinginnya pagi, menyibak kabut sisa-sisa hujan semalam. Dingin. Tapi aku tak peduli. Aku ingin segera sampai rumah.

Aku tersenyum sendiri selama perjalanan. Dingin tak kurasakan lagi. Aku membayangkan sambutan istri dan anakku. Mereka pasti terkejut. Mereka pasti senang dengan kepulanganku.

Lihat juga...