Wacana Referendum Masa Jabatan Presiden Dikritik MPR
Ia mengatakan, dengan dicabutnya ketentuan soal referendum sejak 1998/1999, maka saat ini referendum tidak diakui keabsahannya, dan tidak bisa diberlakukan dalam sistem hukum dan ketatanegaraan di Indonesia.
Ia menjelaskan, adanya berbagai alasan pencabutan sistem referendum itu dalam konsiderans menimbang TAP MPR Nomor VIII/MPR/1998 salah satunya disebutkan bahwa referendum dinilai tidak sesuai dengan jiwa, semangat, dan prinsip keterwakilan sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan UUD 1945.
Menurut dia, UU Nomor 6/1999 menyebut prosedur perubahan konstitusi hanya mengacu kepada mekanisme yang diatur dalam pasal 37 ayat 1 hingga 4 UUD NRI 1945.
“Ketentuan itu menyatakan perubahan UUD NRI 1945 hanya dapat dilakukan oleh MPR dengan syarat diajukan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah angggota MPR, lalu diajukan secara tertulis dengan menyebutkan pasal yang diusulkan untuk diubah beserta alasan dan alternatif perubahannya. Kemudian sidang MPR dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR, dan disetujui sekurang-kurangnya 50 persen ditambah 1 dari jumlah anggota MPR,” katanya.
Ia mengungkapkan, saat ini tidak ada satu pun usulan yang diajukan oleh anggota MPR maupun induk Partainya untuk melakukan amandemen konstitusi (UUD NRI 1945) dengan tema apa pun.
Sementara itu menurut dia, MPR juga tidak mempunyai rencana untuk mengamandemen pasal-pasal yang dipolemikkan oleh segelintir kelompok, seperti soal Presiden dipilih oleh MPR bukan oleh rakyat, termasuk memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode. [Ant]