Yu Sri
CERPEN IMAM WAHYUDI
SUARA azan Subuh yang bersahutan dari beberapa masjid baru saja berlalu, ketika pintu rumah bagian depan diketuk keras berkali-kali.
“Lik, ibu ngamuk lagi…,” teriak Nurmala terengah-engah.
“Di mana dia sekarang?”
“Tadi berlari keluar rumah, menuju ke jalan…”
Aku yang hanya memakai kaos singlet dan celana pendek bergegas mengikuti langkah Nurmala. Bulan sabit terlihat masih menggantung di langit. Udara pagi musim kemarau ini benar-benar menusuk tulang.
“Masya Allah, Yu Sri…” aku berlari menghampiri kakak perempuanku itu. Dengan susah payah kutangkap tubuhnya, kucegah tangannya yang ingin melucuti pakaian tidur yang melekat pada tubuhnya.
Ia meronta-ronta sambil berteriak keras, mengeluarkan sumpah serapah tak karuan. Tangis Nurmala pun ikut memecah pagi. Orang-orang yang akan pergi Salat Subuh ke masjid berdatangan, ikut membantuku membawa kembali Yu Sri ke rumah.
“Sebaiknya, kalau mbakyu panjenengan sudah benar-benar tenang, nanti dibawa ke psikiater atau semacamnya saja, Nak Hasan. Biar bisa ditangani dengan benar. Kami warga kampung juga tidak akan was-was lagi…” kata Kaji Daud, takmir masjid dekat rumah memberi saran. Aku mengangguk pelan.
****
SEMENJAK bapak dan ibu tiada, ditambah lagi dengan kepergian suaminya merantau ke negeri seberang yang lambat laun tiada berkabar, perilaku Yu Sri menjadi berbeda.
Ia lebih banyak diam dan melamun, walaupun masih beraktivitas seperti biasa. Setiap pagi, Yu Sri berjualan bubur sumsum di pasar kecil dekat rumah sebagai mata pencaharian untuk membesarkan kedua anaknya, Nurmala dan Asnan yang mulai beranjak besar.
Dulu, Yu Sri adalah kesayangan bapak dan ibu. Anak tertua yang pintar dan cantik. Aku tidak mengira, bapak dan ibu akan pergi secepat itu.