MAK Wo gelisah mencari anjing hitam kesayangannya. Sudah tiga hari, wanita itu tak menjumpai anjing kesayangannya.
Ia terus mencari, tak juga ia temukan Sureng, anjing hitamnya. Wanita itu menamainya Sureng alias Asu Ireng lantaran seluruh tubuhnya hitam legam, mirip kucing condromowo atau ayam cemani.
Mak Wo terasa sepi tanpa Sureng. Ketiadaan Sureng mampu begitu mudahnya merenggut hari-hari gembiraanya yang sederhana.
Biasanya Sureng akan mengantar dan menungguinya mencari daun-daunan dan rotan di hutan. Menemaninya juga ketika ia bercocok tanam. Sureng tak pernah alpa membersamainya setiap waktu.
Mak Wo yakin, anjing itu tidak mati, selama ini Sureng sehat-sehat saja. Tidak ada binatang yang berani mengganggunya bahkan termasuk buaya.
Jika Sureng sakit, anjing itu akan memilih meringkuk di tempat tidurnya. Baginya, Sureng anjing yang cukup pintar. Mak Wo sangat menyayanginya. Membesarkannya seperti membesarkan bayi, menjaganya dengan hati-hati.
Makanan enak selalu diberikan untuk anjingnya. Semisal ia punya sepotong ayam hutan yang ia panggang, ia akan memakan sebagian saja, sebagian lagi diberikan kepada Sureng.
Anjing itu, dua tahun lalu ia temukan di semak-semak, dengan kaki terluka parah, berdarah, patah. Anjing itu meringkuk, sepertinya tak bisa lagi membawa tubuhnya dengan kaki terluka.
Ada bekas gigitan yang menganga di kakinya. Bisa jadi karena gigitan buaya muara, saat anjing kecil itu turun ke sungai karena kehausan. Kelincahan dan kesigapannya, membuat anjing kecil itu selamat, meski kemudian ia terkapar tak berdaya.
Menyisakan napasnya tinggal sepenggal-sepenggal. Mak Wo memungutnya, anjing kecil itu menggeliat. Sorot matanya kuyu. Ia menggonggong tersengal-sengal. Serupa tak ada lagi keinginan hidup.