Beberapa rumah kayu, sepanjang jalan itu telah ia ketuk pintunya, lalu Mak Wo bertanya, adakah penghuninya melihat Sureng, si anjing hitam. Semuanya tak melihat.
Jawaban orang-orang itu membuat dadanya terasa lebih sesak dan matanya menjadi lebih sembab. Seharian ia berjalan jauh hingga tubuhnya terhuyung. Ia bersandar di batang pohon ulin yang besar nan kokoh.
Memang, seharian ia tak sempat memikirkan perutnya. Ia lupakan rasa lapar. Ia tak memasukkan apa pun ke dalam mulut, bahkan air putih sekalipun.
Namun rupanya rasa lelah dan lapar tak berkompromi, membuat Mak Wo terlelap dalam sandaran batang pohon ulin. Entah mimpi apa yang akan bertandang dalam ketidaksadarannya, untuk menutupi kesedihannya.
***
LELAKI paruh baya itu penuh amarah dan dipenuhi kebencian terhadap istrinya, juga dendam kepada Labih. Dadanya membara, saat ia melihat istrinya berjalan berduaan di hutan bersama Labih.
Hatinya terasa tercubit ketika dilihatnya Labih mengulurkan tangannya, kemudian mereka bergandengan tangan, tampak akrab sekali.
Labih lelaki muda yang gagah yang selalu membantunya itu, telah ia anggap kurang ajar. Seharusnya ia menjaga ladang, mengapa ia bersama istrinya.
Lelaki itu berteriak kencang, ia tak tahan melihat kedekatan istrinya dan Labih. Ia mengangkat mandau-nya. Pemuda tanggung itu terperanjat. Demikian juga istri lelaki itu.
“Aku tahu, ada permainan serong kalian berdua. Sungguh tak berbalas budi kamu, Labih!”
“Ampun Bang, tak ada apa-apa. Janganlah berburuk sangka. Kakak Sullie meminta aku untuk menemaninya mencari lepiu. Ia ingin memakan lepiu, Bang.”
Lelaki itu tak lagi mau mendengar penjelasannya. Ia mendorong dan memukul Labih hingga tersungkur. Sementara istrinya menangis menjerit-jerit melihat adegan itu.