Harmoko dalam Perubahan Politik Indonesia
Dari Harian Merdeka, berikutnya Harmoko sebagai wartawan Harian Angkatan Bersenjata, selanjutnya Harian API, pemimpin redaksi majalah berbahasa Jawa, Merdiko (1965), kemudian pemimpin dan penanggung jawab Harian Mimbar Kita. Pada 1970, Harmoko menerbitkan harian Pos Kota.
Ketika terjadi dualisme kepengurusan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), pada periode 1970-1973, dalam Kongres XIV PWI di Palembang, PWI Pusat pecah dalam dua kepengurusan, yakni kepengurusan yang dipimpin BM Diah dan Sekjen PG Togas, serta kepengurusan yang dipimpin Rosihan Anwar dan Sekjen Jakob Oetama. Kedua kepengurusan ini berakhir tiga tahun kemudian. Dalam Kongres XV di Tretes, dipilih Harmoko sebagai jalan kompromi untuk menyatukan kembali PWI.
Karier Harmoko terus meningkat. Presiden Soeharto memilihnya sebagai Menteri Penerangan selama tiga periode kabinet (1983-1997), menggantikan Ali Moertopo. Karier ini meneruskan jejak pendahulunya, BM Diah (1966-1968). Harmoko — yang selalu tampil dengan rambut tersisir rapi —makin dikenal publik.
Setiap selesai sidang kabinet, biasanya Rabu, Harmoko tampil memberikan penjelasan melalui TVRI, satu-satunya televisi saat itu. Melalui TVRI dan RRI, Harmoko juga mempopulerkan Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pirsawan (Kolempencapir).
Perubahan Politik
Pada 1990-an, pendulum politik mulai berubah, menyusul lahirnya Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang dipimpin Menristek, Prof. BJ Habibie, didukung sepenuhnya oleh Presiden Soeharto. Kelahiran ICMI pada 7 Desember 1990, memberi isyarat mendekatnya Pak Harto ke kelompok Islam, yang sebelumnya dinilai tidak terlalu kooperatif.