Harmoko dalam Perubahan Politik Indonesia
Sebagian besar menteri-menteri menjadi pembina dan pengurus ICMI, termasuk Harmoko. Peran Pak BJ Habibie menguat. Ini menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan, bahkan ada yang menuduh ICMI sektarian. Pro-kontra dan polarisasi terjadi di tengah elite politik, termasuk di Golongan Karya, penyokong utama kekuasaan Orde Baru.
Pak Habibie yang memiliki konsep membangun Indonesia dengan memperkuat sumber daya manusia dan teknologi — dan karena itu memerlukan dukungan politik untuk merancang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) — diberi kepercayaan Pak Harto sebagai Wakil Koordinator Harian Dewan Pembina Golkar pada 1992. Jabatan ini sangat strategis. Sebagai orang kedua setelah Pak Harto, Pak Habibie memiliki kewenangan mengatur tiga jalur Golkar, yakni ABRI, Birokrasi, dan Golongan (ABG) di Golkar.
Setahun kemudian, 1993, dalam Munas Golkar, Harmoko terpilih sebagai Ketua Umum, menggantikan Letjen (purm) Wahono.
Harmoko merupakan sipil pertama memimpin Golkar sejak didirikan. Pada Mei 1993, Panglima ABRI berganti, dari Jenderal Edi Sudrajat kepada Jenderal Feisal Tanjung.
Perubahan-perubahan ini ditafsirkan berbagai kalangan sebagai menguatnya peran politik Pak Habibie. Ada yang menyebutkan sebagai menguatnya kekuatan politik sipil di Golkar. Menjelang Pemilu 1995, calon-calon anggota legislatif Golkar banyak diisi kalangan cendekiwan. Ini menimbulkan isu seakan terjadi “ijo royo-royo” — yang diplesetkan pihak yang kontra dengan sebutan “ijo loyo-loyo.”
Krisis Moneter
Krisis moneter yang awalnya menimpa Thailand, 1997, menjalar ke Indonesia. Tim ekonomi Pak Harto, di antaranya Widjoyo Nitisastro, meyakinkan kepada Pak Harto, bahwa krisis Thailand tidak akan sampai ke Indonesia. Alasannya, fundamental ekonomi Indonesia sangat kuat. Namun, krisis terjadi. Nilai rupiah merosot tajam. Pada awal Januari 1998, rupiah Rp13.673 per dolar AS, yang semula sekitar Rp4.000/dolar AS.