Pasal Pidana dalam Revisi Perda Covid-19 Dinilai Memperpanjang Proses Hukum
JAKARTA — Pakar hukum pidana, Yenti Garnasih, menilai pasal pidana dalam revisi Perda Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pengendalian COVID-19 akan memperpanjang proses hukum yang harus dijalani pelanggar.
Ketua Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) tersebut mengatakan, seharusnya sanksi bagi pelanggar aturan untuk setingkat peraturan daerah (perda) cukup sampai pada denda administratif.
“Kita memikirkan tidak perlu ada proses hukum yang panjang, karena posisinya seperti ini. Semua para perangkat pengadilan juga butuh keselamatan dari COVID,” kata Yenti saat dihubungi di Jakarta, Jumat (16/7/2021).
Yenti menjelaskan, Pemprov DKI Jakarta dan DPRD perlu mempertimbangkan perlu atau tidaknya pasal pidana dalam perda karena dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan sosial baru.
Selain itu, pelaksanaan sanksi pidana juga ditakutkan diskriminatif atau terjadi perbedaan sikap terhadap pelanggar aturan.
Menurut Yenti, para pelanggar aturan pengendalian COVID-19, termasuk pada pelaksanaan PPKM Darurat, seharusnya dapat dipertimbangkan, karena mungkin saja mereka memiliki kebutuhan mendesak.
Saat ini, Indonesia menghadapi lonjakan kasus COVID-19 yang tinggi dan jumlah tenaga kesehatan berkurang, ketersediaan obat-obatan serta oksigen juga terbatas. Karena itu, gerakan sosial sebaiknya digelorakan secara masif, alih-alih pemberian hukuman.
“Apakah dengan pidana bisa mengubah segalanya, jangan-jangan permasalahannya bukan karena mereka tidak taat. Banyak hal, misalnya, dia terpaksa harus keluar karena kehabisan obat-obatan, tidak ada yang menolong,” kata Yenti.
Yenti menambahkan, pengenaan pasal pidana cukup diatur dalam undang-undang, seperti UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular serta UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.