Pencabutan Hak Politik Edhy Prabowo Dinilai tak Maksimal
JAKARTA – Akademisi Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand) Padang, Sumatra Barat, Feri Amsari, mengatakan pencabutan hak politik selama 3 tahun yang mengiringi vonis 5 tahun penjara terhadap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, tidak maksimal.
“Angka 3 tahun itu tidak akan maksimal. Mestinya hakim memberikan sanksi untuk mencabut hak politiknya (untuk dipilih dalam jabatan publik), misalnya dua fase pemilu,” kata Feri dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Senin (19/7/2021).
Ia menjelaskan, bahwa secara matematis dengan kemungkinan adanya remisi atau pengurangan hukuman, Edhy Prabowo bisa segera mengikuti pemilu berikutnya atau setidaknya mendukung calon-calon tertentu di 2029.
Selain itu, lanjut Fery, terbuka pula ruang bagi Edhy untuk kembali mengisi jabatan lain.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada Kamis (15/7) menjatuhkan vonis 5 tahun pernjara ditambah denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan kepada Edhy atas kasus suap ekspor benih lobster.
Selain vonis tersebut, majelis hakim juga mencabut hak politik politisi Partai Gerindra itu selama tiga tahun terhitung sejak masa pidana pokok Edhy berakhir.
Feri mengatakan, pencabutan hak politik pada dasarnya cukup positif karena nyawa para politisi ada di dunia politik, tetapi hukuman pencabutan hak politik itu harus tegas untuk memperkuat sanksi, agar membuat koruptor menjadi jera.
“Tidak hanya sekadar tiga tahun, karena kalau secara matematis tidak ada gunanya jika dalam Pemilu terdekat dia bisa mencalonkan kembali,” ujar Feri.
Feri juga memberikan tanggapan atas vonis 5 tahun tang diberikan Majelis Hakim terhadap Edhy Prabowo. Menurutnya, putusan tersebut memperlihatkan semangat pemberantasan korupsi tengah turun ke titik nadir dan sangat meresahkan.