Cicak Gaib di Dinding
CERPEN ENDANG S. SULISTYA
DUA jempol sibuk menari. Mulut komat-kamit membaca. Wajah berseri. Hidung mengembang. Deretan gigi menyembul dari belah bibir.
Seharian ponsel tak pernah jauh dari jangkauan. Bahkan ke kamar mandi saja dibawa. Itulah kebiasaan Pak Kades Sam akhir-akhir ini.
Sepertinya dia sedang dimabuk asmara. Mungkin lebih tepatnya disebut puber kedua. Atau memang sudah ada hormon buaya darat di dalam tubuhnya sejak dahulu kala? Hanya saja dahulu hormon itu belum sekentara sekarang.
Semasa mudanya, Sam seorang yang pendiam lagi alim. Tidak neko-neko. Hidupnya lurus-lurus saja. Ya, mungkin ada benarnya sebuah kalimat nyinyir: seseorang masih dengan jalan lurusnya karena belum diberi ujian yang sanggup membelokkan saja.
Jadi bukan hanya soal seberapa kuat pegangannya melainkan seberapa deras arus ujian yang menerpa. Maka ketika kita masih terselamatkan, niscaya bukan karena kemampuan diri sendiri. Namun juga karena bantuan dari Yang Kuasa.
Diminta pulang dari perantauan oleh kedua orangtuanya, Sam diamanahi sepetak sawah untuk digarap. Sebagai anak yang berbakti, Sam patuh tanpa mengeluh. Padahal dia sangat tahu, memasuki dunia pertanian di masa modern sama kerasnya dengan medan pertempuran.
Selayak prajurit pada peperangan yang harus tetap optimis dan berjuang, petani tiap memasuki masa tanam pun berupaya dan berharap untuk hasil terbaik. Namun bila masih saja menganut metode lama, sudah pasti tidak akan berdaya.
Niscaya biaya atas tenaga kerja, pupuk, pestisida, pengolahan dan pemeliharaan akan timpang dengan harga jual hasil panen. Merugi.
Maka perlu adanya strategi baru yang belum pernah ada sebelumnya supaya jadi pemenang.