Himpun Potensi Petani, Presiden Soeharto Kembangkan KUD
Sementara itu, terkait kekhawatiran koperasi ini sebagai penguasa koperasi primer, lantas sekundernya apakah Puskud maupun Inkudnya, dijelaskan Pak Harto, selama ini memang belum berjalan dengan baik, tapi yang kita utamakan primernya itu harus betul-betul bisa berjalan.
“Tidak bisa menangani perusahaan-perusahaan yang besar, ya memang kita harus berani mengoreksi diri, mawas diri wong ndak mampu kok mau mengurusi yang besar. Dengan sendirinya lebih baik kita belum mampu, kecil memperkuat diri,” tuturnya.
Kalau bisa memperkuat diri dari berbagai koperasi merupakan potensi yang besar, akan bisa sama-sama kuatnya potensi yang dimiliki oleh yang besar-besar non koperasi tersebut. Apalagi oleh pemerintah, BUMN, maupun swasta.
“Tidak perlu khawatir, ini seolah-olah yang besar dalam pembangunan ekonomi kok hanya swasta saja. Bagaimanapun juga, swasta ini merupakan potensi, aset yang harus kita gunaken dalam pembangunan, sebab kalau tidak, kita menunggu, ya kita sudah ketinggalan dengan negara-negara lain.Tapi jelas, segala sesuata tidak terlepas apapun yang dilakukan oleh swasta harus diarahken, dikuasai oleh negara sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” tandas Pak Harto.
Last but not least, persoalan koperasi bukan hanya urusan ekonomi. Koperasi juga sebuah medan perjuangan, dimana patriotisme dan nasionalisme digalang bagi harkat diri sebuah bangsa. Bagi Pak Harto, inilah bagian dari perjuangan menegakkan amanat Pasal 33 UUD 1945.
Setidaknya ada dua langkah penting Pak Harto di awal kepemimpinannya dalam menggerakkan koperasi di Tanah Air. Selain memperbarui praktik koperasi dengan menerbitkan UU No.12/1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian, Pak Harto juga mengorganisir koperasi yang bertebaran di desa-desa dalam wadah KUD, berdasar Inpres No. 4/1973 yang diperbarui menjadi Inpres No. 2/1978, dan disempurnakan menjadi Inpres No. 4/1984.