PPKM Level IV, Petani di Sikka Batasi Populasi Tanaman

Redaktur: Satmoko Budi Santoso

MAUMERE – Para petani hortikultura di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) belum menjual hasil produksi ke luar daerah akibat adanya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level IV.

“Kami biasa menjual hasil panen ke Kabupaten Flores Timur atau ke Ende dan daerah lainnya tapi sejak adanya PPKM Level IV aktivitas berhenti dahulu,” sebut Egedius Laurensius Moat Paji, petani hortikultura di Desa Ladogahar, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, NTT saat dihubungi, Senin (9/8/2021).

Erik sapaannya mengatakan, para petani terpaksa menjual hasil komoditi di pasaran lokal sehingga terpaksa membatasi populasi tanaman.

Petani Desa Ladogahar, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, NTT, Egedius Laurensius Moat Paji saat ditemui di kebunnya, Sabtu (7/8/2021). Foto: Ebed de Rosary

Disebutkannya, biasanya menanam lombok dan tomat minimal 4 ribu pohon kini menanam hanya 2 ribu bahkan seribu pohon saja akibat takut stok di pasar lokal melimpah.

Dia beralasan, apabila stok di pasaran melimpah maka membuat harga jual tomat bisa anjlok bisa mencapai Rp5 ribu per kilogramnya.

“Kalau lombok harga jualnya masih lumayan bagus bisa mencapai Rp30 ribu per kilogram untuk cabai keriting. Saat pandemi ini paling sekali tanam kita hanya mendapatkan untung bersih Rp10 juta hingga Rp20 juta,” ucapnya.

Erik menyebutkan, banyak warga yang memanfaatkan waktu luang di masa pandemi Corona untuk bertani dan menanam aneka sayuran di pekarangan rumah untuk dikonsumsi.

Sementara itu, Albertus Marianus Moa Desa petani Desa Nitakloang, Kecamatan Nita mengakui, sering menjual komoditi pertanian ke Kota Larantuka, Kabupaten Flores Timur apabila harga jualnya lebih tinggi dibandingkan dengan di Maumere.

Lihat juga...