Untung tidak nampak ada upaya menyerang orang-orang yang ada di situ, makanya ia dibiarkan saja sampai letih dan berhenti sendiri.
Melirik istrinya sekilas, suami Bondati bertanya penasaran ke orang pintar, “Apa maunya kera… maksud saya, roh kera itu?” Sendat suaranya menyimpan geram.
“Untuk mengganggu dan mencelakainya,” ujar orang pintar. “Sebenarnya bukan maunya roh kera, itu hanya medium. Yang hendak mencelakai istrimu orang yang mengirim teluh, lewat medium roh kera itu.”
Si orang pintar menyentuhkan kembali ujung potongan kayu ke bagian tertentu tubuh Bondati. “Saya akan mengeluarkannya.”
Namun, tidak segampang yang dikatakan orang pintar itu. Ketika berusaha menarik sesuatu dari punggung Bondati, terjadi perlawanan menolak.
Meski tidak terlihat apa yang ditarik, tapi dari gerakan tangan dan besar lingkaran lengan orang pintar itu untuk meraup, juga alotnya perlawanan menolak dari yang ditarik, memang bisa ditafsirkan roh kera itulah yang sedang dipaksa keluar dari raga Bondati.
Kejadian itu berulang sampai si orang pintar berkata, “Kita beri dulu kesempatan apa yang dia maui.”
Terdengar kemudian suara Bondati seperti orang sedang minum dalam dahaga berlebih.
Setelah itu ia duduk, tapi pejam matanya menandakan ia masih dalam keadaan tertidur. Kedua tangannya diangkat berbarengan, diulang sampai tiga kali, dan siapa pun yang melihat akan menafsirkan ia memegang sesuatu yang berbentuk bulat.
Paras tegang suami Bondati yang sedang menyaksikan, segera diredam oleh orang pintar, “Dia sudah terdesak. Tenaganya sudah melemah. Mestinya tidak bisa melakukan apa-apa lagi.”
Menatap iba pada wajah letih istrinya, suami Bondati tak tahan menyimpan tanya, “Dia sedang apa, mengulang-ulang mengangkat tangannya?”