Ketua MK: Wacana Amendemen UUD 1945 Miliki Situasi Kebatinan Berbeda
JAKARTA — Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman mengatakan wacana perubahan atau amendemen UUD 1945 yang muncul belakangan ini memiliki situasi kebatinan yang berbeda dengan perubahan serupa saat reformasi.
“Bergulirnya wacana perubahan UUD 1945 kali ini memiliki situasi kebatinan yang berbeda dengan kehendak perubahan UUD 1945 pada saat terjadinya reformasi 1997-1998,” kata Anwar Usman dalam diskusi konstitusi “UUD NRI Tahun 1945: Setelah 20 Tahun Perubahan” yang digelar Forum Konstitusi secara daring, Kamis.
Dia mengatakan bahwa pada saat reformasi, rakyat menjadi aktor utama yang menghendaki adanya perubahan dengan beberapa tujuan seperti menciptakan negara dengan prinsip tata kelola yang baik serta untuk mendukung penegakan demokrasi dan hak asasi manusia.
Sementara itu, Anwar menyebut wacana perubahan UUD 1945 yang saat ini bergulir merupakan aspirasi yang terkesan disampaikan oleh beberapa pihak tertentu dan oleh sejumlah wakil rakyat yang tengah mengemban amanah.
Dia mengatakan perlu dipahami dan disadari bahwa meskipun wakil rakyat memiliki legitimasi untuk mengusulkan dan melakukan perubahan UUD 1945 secara normatif, namun legitimasi moral tetap berada pada rakyat sebagai pemangku utama dalam prinsip negara demokrasi.
Dia meminta agar para wakil rakyat memiliki kepekaan moral dan sensitivitas sosial mengenai wacana tersebut.
“Para wakil rakyat yang saat ini tengah mengamban amanah dituntut memiliki kepekaan moral dan sensitivitas sosial agar nilai, niat, dan upaya untuk melakukan perubahan dapat dipahami oleh seluruh warga negara,” ujar Anwar.
Dia juga menyebutkan beberapa pertanyaan yang muncul, baik secara teoritis maupun praktis, jika salah satu kehendak dilakukannya perubahan UUD 1945 adalah untuk melahirkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau yang sekarang disebut Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).