Memaknai Tragedi Kebakaran Lapas Tangerang
SEMARANG – Kebakaran yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang, Banten, Rabu (8/9), bukan hanya sebuah tragedi bagi keluarga warga binaan pemasyarakatan lapas setempat, melainkan membuka wacana terkait pembaruan sistem hukum nasional.
Sejumlah pakar hukum pun angkat bicara atas peristiwa memilukan yang mengakibatkan 41 warga binaan pemasyarakatan (WBP) meninggal dunia pada hari kejadian.
Jumlah korban yang meninggal dunia hingga Senin (13/9) bertambah menjadi 46 orang, menyusul lima orang di antara korban yang mengalami luka bakar akhirnya mengembuskan napas terakhir saat menjalani perawatan di RSUD Tangerang.
Mereka yang masih di bawah asuhan negara atau tanggung jawab negara/pemerintah, tidak bisa berbuat apa-apa ketika api berkobar di Blok C2 Lapas Tangerang, Rabu sekitar pukul 01.45 WIB. Mau menyelamatkan diri, sel mereka terkunci.
Dengan jumlah korban yang begitu banyak ini, overcapacity (kelebihan kapasitas) menjadi sorotan ikutan. Dikatakan pakar hukum dari Universitas Borobudur Jakarta, Prof. Dr. H. Faisal Santiago, S.H., M.H., angka kematian korban kebakaran yang tinggi itu diakibatkan oleh kelebihan kapasitas lapas.
Idealnya, menurut Ketua Prodi Doktor Hukum Unbor ini, 9 kamar hanya diisi sekitar 40 narapidana. Tetapi, 9 kamar di Blok C2 dihuni oleh 122 narapidana. Bahkan, Lapas Tangerang menampung 2.072 WBP. Padahal, kapasitas lapas ini hanya 600 orang.
Fenomena kelebihan kapasitas lapas di Indonesia menjadi topik dalam Kajian Islam dan Konstitusi dengan menampilkan pembicara Dr. H. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. Acara yang dipandu Titi Anggraini ini disiarkan melalui YouTube Salam Radio Channel, Jumat (10/9).