Panji Tunggul Wulung
CERPEN MARA MAWAR
“USIA pembawa Panji Tunggul Wulung itu, mungkin tak sampai matahari terbit esok,” mata perempuan tua ini perlahan mulai memerah, nanar.
Tapi, tak dia biarkan kelopak matanya menutup sejenak atau bulu matanya sekadar naik-turun sedetik.
Ditatapnya sosok lelaki tua yang ada di seberang jalan itu. Sorot matanya sebenarnya tak membentuk kilatan petir. Apalagi di tengah debu yang diterbangkan para abdi dalem keraton yang sedang pawai itu.
Tetapi kenangan indah nan menyedihkanlah yang menimbulkan hujan kilat sambar menyambar di matanya. Kilatan kenangan yang tak tentu arti dan arahnya, terkadang terasa teduh, terkadang juga terasa begitu mencekam.
Sebagai orang yang hidup di zaman tertentu, perempuan tua itu seperti telah tuntas membaca tanda-tanda alam yang ia simak dari buku kisah kehidupan.
Wajah lelaki tua itu penuh khidmat memegang bendera Pusaka Tunggul Wulung yang ditutupi kain di atas baki. Dia berjalan mengikuti prosesi pengarakan bendera dari kiswah kabah itu. Aroma wangi kidung menelusup dan singgah di jalan Malioboro. Sejenak kemudian membumbung tinggi menuju langit. Merupa doa.
Sebagai orang yang hidup dalam satu ikatan janji, kala itu, wajah lelaki —pembawa panji peninggalan kerajaan Demak yang diberikan oleh Kekhalifahan Turki pada abad ke-14— itu menyesaki dadanya.
Kenangan momen-momen romantis bersamanya dilindas oleh perasaan tak menentu, karena lelaki yang sangat dicintainya itu memilih merelakan diri jatuh di pelukan perempuan lain.
“Kita butuh lebih dari sekadar upacara bersih desa untuk mengusir wabah, Nak.” Lagi-lagi perempuan tua itu berbisik lirih. Suaranya serasa ditahan agar tak bergesekan dengan gemuruh angin di sekitarnya.