Panji Tunggul Wulung

CERPEN MARA MAWAR

Ia seolah-olah tak hendak membangunkan tidur siang sang pagebluk, Corona. Atau suara yang terlalu lemah karena adanya pelukan dan ciuman panjang di titik 0 kilometer di masa lampau yang mengalir bersama aliran waktu.

“Tapi, bagaimana ibu tahu tentang kematian seseorang? Sejak kapan?” ujar perempuan muda ini lirih seakan memilih menyimpan pertanyaannya daripada mengemukakan kepada ibunya. Tangannya sibuk melabuhkan kemoceng ke tumpukan dagangan baju. Debu-debu melepaskan dirinya dan berebutan menyusup ke hidung  hingga perempuan itu terbatuk-batuk.

Toh selama ini, ia tidak pernah melihat ibunya berperilaku bak paranormal. Meramal kematian pula. Dan yang diramal itu tetangganya pula.

Apa tidak lebih baik meramal tentang dagangan saja, kapan akan laris manis lagi seperti sebelum pagebluk corona. Keadaan yang membuat perempuan muda itu tak perlu lagi mengencangkan ikat pinggang yang telah kencang.

Sementara di sudut Benteng Vredeburg seorang laki-laki bermasker dengan topi menutupi sebagian wajah dan berkaca mata hitam itu juga menatap tajam pada lelaki yang sama: sang abdi dalem yang tengah membawa panji kebesaran kerajaan Mataram. Mulutnya komat-kamit, mungkin merapalkan mantera atau sedang membuang kemarahan.

Lelaki tua yang tengah diperhatikan dengan khusyuk oleh sejumlah orang ini seorang abdi dalem. Itulah sebabnya meski ia berwatak dasar pendiam, tetapi senyumnya tak pernah lepas dari sudut bibir.

Tingkah lakunya sangat halus, khas penampilan seorang abdi dalem. Ia pun telah mendapatkan gelar yang cukup tinggi dari Sri Sultan karena pengabdiannya yang tulus dan berpuluh-puluh tahun, semenjak usianya masih belum ranum.

Lihat juga...