Panji Tunggul Wulung
CERPEN MARA MAWAR
Wajah Padmi yang tetap cantik meski telah mulai keriput itu tak lepas dari memandang wajah Timur. Kapan lagi ada kesempatan emas untuk puas memandang tanpa ada rasa was-was. Apalagi jika benar, ini adalah hari terakhir abdi dalem itu menghirup napasnya.
Arak-arakan itu tak cuma mendendangkan tembang, tetapi juga membacakan doa tertentu. Sesampainya di perempatan Malioboro, arak-arakan itu berhenti dan mengumandangkan doa.
Barisan para pengarak bendera pusaka ini bisa semakin panjang. Seperti saat ini, di mana para turis dan warga turut membuntuti perjalanan ikhtiar mengusir wabah corona.
“Aku harus ikut barisan itu, Nak!” Dewi Padmi berkata lirih.
“Ini kesempatan terakhirku mungkin, Nak.” Tanpa menunggu jawaban dari anaknya yang masih melongo tak mengerti maksud dari perkataan ibunya itu, Padmi telah bergabung di barisan paling buntut.
“Seperti yang kuduga. Karena ini adalah hari terakhirmu keparat!” tangan Priyo mengepal ketika melihat mantan istrinya itu mengambil posisi di dalam upacara itu.
Talak ketiga kalinya yang ia lontarkan kepada istrinya karena rasa cemburu buta telah membuat ia kehilangan kembang desa di usia pernikahan yang belum genap 10 tahun. Priyo melakukan berbagai cara agar bisa kembali kepada istrinya, tapi tak satu pun cara itu berhasil.
Sementara Padmi masih menginginkan Timur. Timur bukan tak tahu tentang hal itu. Dan bukan juga ia tak memiliki hati lagi untuk Padmi.
Hati Timur tetap utuh buat Padmi. Itu sebabnya ia tak menikah hingga senja mengambil usianya. Tetapi pernikahan bukan satu-satunya cara untuk menjaga hatinya agar selalu berkiblat kepada orang yang dicintainya. Sungguh cinta itu memang tak pernah padam dan tak pernah paham.