Panji Tunggul Wulung
CERPEN MARA MAWAR
Padmi hanya tertunduk. Rintik gerimis turun dari matanya. Timur mengusapnya lembut dengan jemari lalu mengambil sapu tangan miliknya.
“Aku tak bisa terus menerus mengusap air matamu yang suci ini. Usaplah dengan sapu tangan ini jika ia membanjiri pipimu!” mata Dewi Padmi terbelalak, betapa tidak, sapu tangan merah muda itu adalah sapu tangan miliknya yang pernah ia berikan kepada Timur.
“Ini milikmu dan akan kembali padamu. Ini hatiku, milikmu, dan akan selalu kembali kepadamu, pemilikku.”
Kali ini mata Timur juga dipenuhi air mata penuh kenangan. Tidak pernah ia membayangkan bisa bicara berdua seperti ini meski saat ini mereka berada di tengah keramaian dan bukan di ruang sunyi yang indah, di atas ranjang di dalam kamar tidur.
“Pulanglah! Tersenyumlah selalu!” tangannya memutarkan badan Dewi Padmi ke arah mana kios di seberang Hamzah Batik, tempat ia berdagang.
Senyuman manisnya mengiringi langkah Padmi yang gontai. Timur berjalan cepat. Tangan Timur yang menyentuh pundak Dewi Padmi membuat Padmi menghentikan langkah. Mereka kini saling berhadapan. Timur merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kunci pintu rumah.
“Malam nanti dan seterusnya, aku tak akan kembali pulang. Terimalah kunci rumahku ini. Rumahku ini untukmu. Dalam hidup, kita akan selalu kembali pulang ke rumah, kan? Jadi jangan pernah kau cari tahu aku di mana, karena jiwaku selalu ada di dalam rumah yang kuncinya kau terima kini. Rumah itu kini milikmu juga hatiku!”
Priyo yang menutupi wajahnya dengan masker batik dan berkacamata hitam kian terpaku di tempatnya berdiri. Campur aduk perasaannya membuat bulir air mata yang tak biasa tumpah itu kini jatuh perlahan, satu demi satu, di pipinya. Entah, perasaan apa yang paling kuat menguasai dirinya saat ini.