Penguatan DPD RI dan Re-Eksistensi GBHN

OLEH: YASSIR ARAFAT

DALAM kondisi negara yang masih dilanda wabah COVID-19, akhir-akhir ini publik dikejutkan dengan berbagai opini dari elit politik kita untuk mengamandemen UUD 1945 yang ke-V secara terbatas. Di antaranya, adanya keinginan untuk “menghidupkan” kembali GBHN di dalam UUD 1945 sebagai dasar dan pedoman penyelenggaraan pemerintah.

Tujuannya adalah agar proses pembangunan negara menjadi simultan dan sustainable meskipun terjadi pergantian kepemimpinan (Presiden). Artinya, siapa pun Presiden yang terpilih dan menggantikan Presiden sebelumnya tidak akan merubah haluan yang hendak dicapai oleh negara pada periode kepemimpinannya. Presiden terpilih tetap melanjutkan program yang belum selesai atau belum terlaksana, sehingga tidak ada program yang “terbengkalai”.

Namun wacana untuk memperkuat DPD RI secara kelembagaan, tidak mendapatkan respons yang baik dari sebagian besar anggota DPR RI.

Penguatan DPD RI Secara Kelembagaan

Era reformasi telah membawa perubahan yang fundamental terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Terbentuknya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI setelah amandemen UUD 1945 menyebabkan keanggotaan MPR RI terdiri atas anggota DPR RI dan anggota DPD RI. Konsekuensinya terjadi perubahan dari unicameral system menjadi bicameral system. Restrukturisasi parlemen tersebut, menegaskan bahwa terjadi pergeseran dari supremasi MPR RI menuju supremasi konstitusi. Sistem ini dimaksudkan untuk memperbaiki struktur, kinerja dan kualitas produk perundang-undangan yang lebih berpihak pada kepentingan negara.

Bicameral system memiliki nilai filosofis yang beragam. Di Inggris memiliki tujuan untuk memelihara peran kaum bangsawan dalam proses legislasi. Di Amerika Serikat, sebagai kompromi antara negara-negara bagian (antara penduduk yang banyak dan yang sedikit). Di Jerman untuk melindungi kepentingan negara-negara bagian dari kebijakan atau peraturan pemerintah federal.

Lihat juga...