Sajian Bubur Putih dalam Ritual Babaritan, Sarat Makna

Editor: Makmun Hidayat

BEKASI — Bubur putih sebagai salah satu suguhan wajib dalam ritual tradisi babaritan (syukuran) digelar di bulan tertentu di wilayah Kranggan, Jatisampurna, Kota Bekasi, Jawa Barat ternyata sarat makna.

Bubur dalam giat doa bersama tersebut tak hanya sekadar hidangan, tapi maknanya lebih dari pada pelengkap dalam ritual budaya itu sendiri.

Siloka (makna-red) Bubur putih dalam ritual budaya babaritan, di tataran Sunda seperti di Kranggan ini, memiliki makna tersendiri sebagai simbol pemersatu dalam lingkungan bersama, berbangsa dan bernegara yang ada dalam Pancasila,” ungkap Olot Suha, di Kampung Payangan, kepada Cendana News, Minggu (5/9/2021).

Bubur itu sendiri dimaknai sebagai persatuan, sederhana cara mereka memaknainya karena yang berasal dari beras, garam dan air, kemudian diaduk jadi satu hingga tak terpisahkan antara satu dan lainnya. Begitulah salah satu cara mereka memaknai ajaran bubur sebagai suguhan dalam ritual babaritan.

Artinya dalam kehidupan di dunia ini, dalam satu lingkungan itu harus bersatu dan dalam meningkatkan persatuan dan kesatuan. Terpenting adalah mewujudkan kerukunan dalam satu lingkungan seperti bubur berbeda-beda, tapi setelah dipadu jadi satu akan melebur jadi bagian tak terpisahkan.

“Ini juga sesuai pesan dalam Pancasila, dalam berbangsa harus bersatu, dalam kesatuan mewujudkan kerukunan sesama meskipun berbeda-beda tapi sudah jadi satu dalam bingkai Indonesia. Dan ini adalah bagian dari penghayatan dalam Ketuhanan yang Maha Esa,” ujarnya.

Diketahui babaritan atau ritual syukuran di wilayah Kranggan, bagian dari tradisi, untuk Kampung Payangan yang secara administrasi masuk wilayah Kelurahan Jatisari, Jatiasih masih bagian dari tradisi Kranggan. Namun dalam melaksanakan babaritan sedikit berbeda.

Lihat juga...